Penembakan Balon Udara dan Prospek Perang dengan China

- Kamis, 9 Februari 2023 | 09:10 WIB
Ilustrasi sebuah balon berbendera China terlihat terbang di atas bendera AS yang digambarkan dalam bentuk peta pada 5 Februari 2023.(Reuters/Dado Ruvic)
Ilustrasi sebuah balon berbendera China terlihat terbang di atas bendera AS yang digambarkan dalam bentuk peta pada 5 Februari 2023.(Reuters/Dado Ruvic)


Oleh: Sjarifuddin Hamid

SINAR HARAPAN - Penembakan balon mata-mata milik China oleh pesawat F-35 AU AS telah memperburuk hubungan Amerika Serikat-China. Apalagi beberapa hari sebelumnya Badan Pusat Intelijen AS, CIA secara terbuka menyatakan China akan menyerang Taiwan pada 2027.  

Tambahan pula hubungan top diplomat kedua negara tidak rukun. Menlu China sekarang dijabat oleh mantan Dubes China untuk AS (2021-2023) yakni Qin Gang. Selama Qin menjadi dubes, dia tak pernah diterima oleh Menlu AS Anthony Blinken.

Dengan kata lain Qin tak pernah menyerahkan surat-surat kepercayaan kepada Blinken. Qin juga mendapat perlakuan tak semestinya dari para pejabat State Departement lainnya. Hanya Wendy Ruth Sherman, Wakil Menlu AS, yang sempat menerimanya. Itupun tidak formal.

Sebetulnya Anthony Blinken dijadwalkan melawat ke Beijing pada bulan ini. Lawatan mendadak dibatalkan sehubungan dengan penembakan balon dan reaksi tajam dari pemerintah China atas penembakan tersebut. Terlepas dari itu, seandainya Blinken jadi berkunjung dan menemui Qin Gang.

Bagaimana dampak psikologisnya?

Perlakuan Qin Gang selama menjadi dubes menunjukkan pemerintahan Joe Biden menekan di segala aspek dengan tujuan melemahkan dominasi China. Beragam tekanan itu, mulai dari menaikkan pajak impor barang-barang dari China, melarang  ekspor semikonduktor dan segala produk yang antara lain dapat dipakai untuk tujuan militer. Sanksi atas milik pribadi yang melakukan pelanggaran HAM dan lain-lain.

Tidak semua larangan itu efekfif sebab malah merugikan Amerika Serikat sendiri. Sebagai misal larangan impor produk dari China. Ternyata produk tersebut dibuat perusahaan AS di China. Dibawa ke Amerika Serikat dengan perusahaan transportasi AS. Konsumen baik perusahaan maupun perorangan di AS akhirnya tidak lagi mendapat produk dengan harga murah.

Kerbijaksanaan Amerika Serikat yang bersifat sepihak akhirnya menggerus kredibilitas negara tersebut. Gambaran itu dapat dilihat dari sikap berbagai negara yang menjual obligasi pemerintah AS dan beralih dengan membeli matauang lain atau emas. Sejumlah negara juga mulai bertransaksi dengan tidak menggunakan dolar. De-dolarisasi menyebabkan kekuatan politik greenback secara bertahap akan melemah.

Apakah pengaruh AS menurun? Kiranya demikian namun Washington tidak mengubah kebijaksanaan konfliknya sebab kalangan peran industri militer, politisi dan pemerintah terlalu kuat dalam menentukan politik luar negeri.

Pendapat Presiden Jimmy Carter (1977-1981)

Menurut Presiden AS ke-39 itu, sejak merdeka pada 1776,  hanya 16 tahun yang dilalui dengan damai. Selebihnya untuk berperang. Amerika Serikat merupakan negara yang paling suka berperang karena kecenderungannya memaksa negara-negara lain untuk mengadopsi prinsip-prinsipnya. AS adalah rezim yang paling munafik, idiot, penghasut perang dan intimidasi yang terus mencampuri urusan negara lain untuk kepentingannya sendiri.

Bandingkan dengan China. Ia memiliki jalan bebas hambatan sepanjang 18 ribu mil. Berapa mil jalan  bebas hambatan yang kita miliki?

Jelas bahwa China memanfaatkan kebijaksanaan damainya untuk membangun perekonomian. China tidak menghabiskan satu sen pun untuk berperang. Kita membelanjakan US$3 triliun untuk keperluan militer. Itulah sebabnya mengapa mereka mengungguli Amerika Serikat di hampir semua bidang, ujar Carter yang menormalisasi hubungan negaranya dengan China pada 2019.   

Dia menambahkan, dalam wawancara dengan newsweek.com tiga tahun lalu,  hanya AS dan sekutu bawahannya yang berpikir China merupakan musuh dunia. Sebuah model ekonomi menunjukkan China akan melampaui AS sebagai kekuatan ekonomi pada 2030, tetapi banyak ahli mengatakan kita sudah hidup di abad China.

Keprihatinan Carter dianggap angin lalu. Serupa dengan pengabaian terhadap pidato perpisahan Presiden Dwight D. Eisenhower pada 1960. Mantan jenderal pada Perang Dunia II itu mencemaskan membesarnya peranan military industrial complex dalam kebijaksanaan luar negeri negaranya.

Hanya tiga tahun setelah pidato tersebut, Presiden Lyndon Baines Johnson memulai perang perang Vietnam. Mulanya menempatkan 25 ribu  penasehat militer . Namun kemudian mengirim pasukan tempur termasuk marinir, baret hijau, ranger dan lainnya yang pada 1968 mencapai 548 ribu orang. Di antaranya 58.228 ribu di antaranya tewas.   Biaya perangnya mencapai US$168 miliar atau US$1 triliun jika dihitung dengan nilainya sekarang.

Pantas Khawatir

Amerika Serikat tampaknya membuka dua front. Ia diketahui menekan Ukraina agar membatalkan rencana gencatan senjata dengan Rusia pada tahun lalu karena berkepentingan dengan penambahan kekuatan militer di Eropa. Penambahan ini berarti pemasukan untuk industri militernya.

Di bagian dunia lain,Washington juga terus menyuarakan bahaya dominasi China dengan mengajak negara-negara di Indo Pasifik untuk mengatasinya. Ironisnya seruan tersebut ditujukan pula kepada Vietnam yang pernah dibuat babak belur.

Cara mengatasinya adalah dengan cara meningkatkan anggaran dan penambahan jumlah kekuatan militer.  AS menaikkan anggaran militer yang tahun ini mencapai US$816,7miliar. Naik dari US$344,4 miliar pada tahun sebelumnya.

Langkah tersebut niscaya diikuti puluhan negara lain. Semua berpendapat cara terbaik untuk menghindari perang adalah dengan mempersiapkan diri untuk berperang. Ini berarti memesan  peralatan militer dari AS dengan pembayaran secara kontan atau dicicil.

Dalam konteks ini, Indonesia yang berprinsip politik bebas aktif selayaknya memainkan peran untuk membangun perdamaian.***

Editor: Norman Meoko

Sumber: Opini

Tags

Terkini

Awak Masih Merangkak! Orang Lain Sudah Berlari!!!

Selasa, 21 Maret 2023 | 07:52 WIB

AS Gagal di Eropa, Peringatan Bagi Asia

Kamis, 16 Maret 2023 | 11:38 WIB

Berengkes Ikan Tempoyak?

Selasa, 14 Maret 2023 | 07:36 WIB

Kebijakan Jemput Bola?

Selasa, 28 Februari 2023 | 06:03 WIB

Pamer Kekayaan dan Hancurnya Revolusi Mental Jokowi

Senin, 27 Februari 2023 | 15:00 WIB

Siapa Wang Huning?

Kamis, 23 Februari 2023 | 06:08 WIB

Mengurai Kemacetan Jakarta hingga Akar Masalah

Sabtu, 18 Februari 2023 | 13:47 WIB

Orang Amerika Serikat Manusia Juga? (Tolong Menolong!)

Selasa, 14 Februari 2023 | 07:16 WIB

Bengak Kerbau? dan Kandang Babi?

Selasa, 7 Februari 2023 | 07:23 WIB

Anies, Agenda Perubahan dan Tembak Mati Koruptor

Rabu, 1 Februari 2023 | 21:53 WIB

Kacang Kalengsong?

Selasa, 31 Januari 2023 | 06:01 WIB
X