Kacang Kalengsong?

- Selasa, 31 Januari 2023 | 06:01 WIB
Marzuki Usman.(Dok/sinarharapan.co)
Marzuki Usman.(Dok/sinarharapan.co)


Oleh: Marzuki Usman

Pada suatu hari penulis mengajak Bapak Menteri Keuangan, Bapak Marie Muhammad yang kebetulan berkarir bersama penulis di Departemen Keuangan pada tahun 1969. Pada hari itu, beliau dimohon untuk berkunjung kepada para keluarga transmigrasi lokal yakni anggota keluarga di desa pada Provinsi Jambi untuk bertanam kelapa sawit seperti yang terjadi pada keluarga transmigrasi dari Pulau Jawa.

Maksud dari program ini adalah untuk menghilangkan  “Kecemburuan Penduduk Lokal asli kepada Para Transmigran dari Pulau Jawa”. Dan, kebetulan program itu juga dilaksanakan di dusun penulis yakni Mersam, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Program itu sudah berjalan dan berhasil baik.

Pada saat itu, seorang teman yang kebetulan keturunan orang Padang dan beliau lagi menjabat sebagai salah satu direktur pada Bank Indonesia. Beliau ikut juga dalam rombongan bapak Menteri Keuangan itu. Kebetulan juga, kita sama-sama alumni lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Beliau berucap kepada penulis sebagai berikut, “Pada 1949, Marzuki, saya beserta keluarga ayah saya, sebanyak lima orang yakni ibu ditambah bapak serta tiga orang anak yang masih bersekolah di Sekolah Rakyat - SR (sekarang Sekolah Dasar – SD). Kami sekeluarga lewat di depan rumahmu ini yang terletak di pinggir Sungai Batanghari, Jambi.

Saya bertanya, “Apa pasal bapak sekeluarga berderma wisata naik perahu bermotor melewati dusun saya, Mersam ini?” “Marzuki, pada waktu itu, ayah saya memutuskan untuk seluruh keluarganya hijrah dari desa di tepi Danau Meninjau untuk pindah ke Kota Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Kami sekeluarga naik mobil penumpang dari desa itu ke Desa Sungai Dareh di hulu Sungai Besar Batanghari. Lalu, menuju ke Kota Sarolangun. Saro itu artinya sengsara. Langun artinya jauh. Ini berarti Kota Sarolangun jauh sekali di Provinsi Jambi.

Dan pastilah keluarga itu, dengan motor airnya, lewat di depan rumah penulis di Dusun Mersam.

Kemudian, menurut beliau, motor airnya singgah di Kota Sarolangun. Dari situ, semua anggota keluarga berjalan kaki untuk sampai ke Kota Lubuk Linggau selama 10 hari. Sudah barang tentu keluarga bermalam di hutan sepanjang jalan di daerah itu.

Beliau mengatakan bahwa ayahnya hidupnya dari menjual kacang tanah yang digoreng dengan pasir, bahan bangunan. Ketika dibungkus diberi nama Kalengsong (Bahasa Minang, maksudnya kantong) yang besar-besar. Tetapi isi kacangnya sedikit sekali (Sekatek bana – Bahasa Minangnya).

Dengan cara begitulah, ayahnya membiayai beliau dari Sekolah Rakyat - SR (sekarang Sekolah Dasar -SD) sampai lulus sebagai Sarjana Ekonomi (SE) pada Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada.

Memang orang Padang (Minang Kabau) terkenal dengan keuletannya, kecerdikannya dan keseriusannya. Maka, tidaklah heran ia yang cuma anak penjual “Kacang Kalengsong”, dia menjadi salah seorang direktur pada Bank Indonesia. Kata teman penulis, “Kita jangan pernah congkak! Yang boleh congkak, hanyalah Allah SWT."

Jakarta, menjelang akhir Januari 2023

Editor: Norman Meoko

Sumber: Opini

Tags

Terkini

Kontroversi Dana Rp349 Triliun

Kamis, 30 Maret 2023 | 06:55 WIB

Buntung Karena Utangnya Melambung?

Selasa, 28 Maret 2023 | 06:31 WIB

Awak Masih Merangkak! Orang Lain Sudah Berlari!!!

Selasa, 21 Maret 2023 | 07:52 WIB

AS Gagal di Eropa, Peringatan Bagi Asia

Kamis, 16 Maret 2023 | 11:38 WIB

Berengkes Ikan Tempoyak?

Selasa, 14 Maret 2023 | 07:36 WIB

Kebijakan Jemput Bola?

Selasa, 28 Februari 2023 | 06:03 WIB

Pamer Kekayaan dan Hancurnya Revolusi Mental Jokowi

Senin, 27 Februari 2023 | 15:00 WIB

Siapa Wang Huning?

Kamis, 23 Februari 2023 | 06:08 WIB

Mengurai Kemacetan Jakarta hingga Akar Masalah

Sabtu, 18 Februari 2023 | 13:47 WIB

Orang Amerika Serikat Manusia Juga? (Tolong Menolong!)

Selasa, 14 Februari 2023 | 07:16 WIB
X