Oleh: Marzuki Usman
Peristiwanya terjadi pada tahun 1950-an, pada waktu itu penulis lagi bermukim di Desa, atau Dusun Mersam. Di situ tempat kediamanan Bapak Camat, Kecamatan Mersam, Kabupaten Batanghari, Keresidenan Jambi. Pada waktu itu belum lagi terbentuk Provinsi Jambi.
Penulis menghabiskan waktu di Dusun itu sampai dengan tahun 1957. Ketika penulis sudah lulus Ujian Sekolah Rakyat –SR. (sekarang, Sekolah Dasar – SD) pada tahun 1957, maka penulis haruslah pergi ke Kota Jambi, dimana pada waktu itu, satu-satunya SMP di Keresidenan Jambi.
Pada suatu hari di Kampung Mersam itu, ada dua orang perantau dari Kabupaten Silungkang, Keresidenan Sumatera Barat (Padang). Mereka berdua itu menggelar selembar seng datar yang panjangnya 50 centi meter, dan lebarnya demikian juga.
Kemudian, dia memukul gendang, sambil berteriak, “Sutra Manih. Indak dibeli anaknyo menangih. Jika dibeli pitih abih!” Dalam bahasa Indonesia, “Sutra Manis, Tidak dibeli anaknya menangis. Jika dibeli uangnya habis!”.
Kemudian, mereka berdua berkerja sebagai berikut. Orang pertama membeli gula pasir sekilo gram. Kemudian dia masukan gula pasir itu kedalam panci. Lalu dipanaskan diatas Tungku Batu. Setelah gula itu mencair, lalu ditumpahkan keatas selembar seng tersebut. Kemudian gula pasir cair itu, ditarik-tarik oleh mereka berdua dengan kayu pemukul tambur. Lalu, ditarik-tarik-lah gula cair itu, sambil berteriak-teriak seperti diatas, “Sutra Manih”.
Dan, setelah sepuluh menit mereka bekerja, maka terjadilah Sutra Manis itu. Dan, para Bapak-bapak yang menonton itu, lalu membeli Sutra Manis itu. Hal seperti ini, tidak lagi ada, pada saat sekarang ini. Dan, orang Padangnya sudah punya Warung Kopi, dan tidak lagi perlu berteriak-teriak Sutra Manih lagi!.
Alangkah sederhananya orang pada waktu itu, untuk mencari kehidupan. Sekarang Sutra Manis itu sudah dikerjakan oleh mesin-mesin. Dan, orang Padang, sudah pada menjadi pemilik Warung Kopi. Inilah contoh, dari Pembagunan Ekonomi Rakyat Kecil.
Jakarta, Menjelang Akhir Januari 2023