Oleh: Sjarifuddin Hamid
SINAR HARAPAN - Dewasa ini tengah berlangsung perang, bentrokan senjata sporadis atau apapun namanya di minimal 36 negara. Motifnya beragam, mulai dari perdagangan narkoba, perebutan kekuasaan, masalah suku pertimbangan keamanan nasional dan masih banyak lagi. Yang perlu diperhatikan adalah semuanya menggunakan senjata perorangan, berbagai jenis amunisi, bom rudal dan lain-lain. Umumnya diimpor.
Peralatan militer itu termasuk alat komunikasi, chip, drone antara lain diproduksi di Amerika Serikat, Rusia, China, Israel, Iran, Turki dan Inggris. Menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) terdapat seratus produsen peralatan militer terkemuka di dunia. Sejumlah 40 di antaranya perusahaan AS yang total arms sales-nya mencapai US$299 miliar pada 2021. Lockheed-Martin, penghasil antara lain pesawat terbang, rudal, sendiri mencatatkan penjualan lebih dari US$60 miliar.
Sejumlah 27 perusahaan lain berbasis di Eropa dengan arms sales pada 2020 US$ 123 miliar. Enam perusahaan Rusia berhasil menjual US$17,8. Lima perusahaan dari Timur Tengah US$15 miliar dan empat perusahaan Jepang meraih US$9 miliar pada 2021. Delapan perusahaan China mendapat US$ 109 miliar. Korea Selatan US$7,2miliar.
SIPRI hanya memberi gambaran umum namun sudah cukup menjelaskan dibalik seratus perusahaan terkemuka, terdapat ratusan supply chain dari seluruh dunia. Baru-baru ini intelijen Ukraina pada Desember lalu mengungkapkan, rudal-rudal Rusia menggunakan chip untuk navigasi yang diimpor dari empat negara NATO Kanada, Belgia AS dan Inggris. Disamping negara netral Swiss
Sebagaimana industri yang lain, industri peralatan militer menampung banyak tenaga kerja. Sejumlah 20 diantara 100 perusahaan di atas, total mempekerjakan 1,2 juta orang. Belum lagi ribuan perusahaan pemasok yang berada di dalam dan luar negeri. Jadi bisa dibayangkan bagaimana jika tidak ada perang. Mata rantai kesulitan akan memanjang hingga kepada perusahaan non militer seperti perusahaan makanan-minuman sampai katering yang akan kekurangan permintaan.
Membangun Konflik
Untuk mencegahnya, ada para pihak yang sengaja membangun ketegangan antar negara atau perpecahan di dalam negeri serta pula menciptakan isu-isu baru. Semuanya berujung kepada permintaan peralatan militer, serta pencegah aksi terror, seperti pintu cockpit pesawat tahan peluru, peralatan deteksi di stasiun kereta api, bandara, pusat perbelanjaan dan lain sebagainya.
Untuk menjaga kelangsungan industri pertahanannya, pemerintah AS punya cara yang khas. Membeli semua produk-produk Lockheed Cs. Baru kemudian atas persetujuan berbagai kementerian dan dukungan anggota legislatif dijual ke luar negeri. Tentu saja dalam kelanjutannya, senjata-senjata itu tidak hanya dipakai pemerintah asing namun juga bisa ngelantur ke pasar gelap.
Selain itu yang sulit dimengerti adalah mengapa terus terjadi ketegangan permanen antara China dengan Taiwan padahal kedua negara mempunyai hubungan dagang dan investasi yang besar. Bahkan China sejak awal tahun 2000 menyediakan lahan khusus untuk perusahaan Taiwan di provinsi Fujian.
Ketegangan yang sengaja dibangun itu menghasilkan kontrak-kontrak militer yang bernilai tinggi. Ironisnya produk-produknya hanya dipakai untuk latihan atau dimusnahkan karena melewati tanggal kadaluwarsa.
Pada September 2022, Taiwan memesan sistem radar peringatan dini senilai US$655 juta dan 60 rudal Harpoon seharga US$355 juta. Juga rudal permukaan ke udara dan udara ke udara Sidewinder US$85,6juta. Dalih Pentagon adalah pembelian itu penting bagi keamanan Taiwan.
perang di Ukraina yang bermula sejak 24 Februari tahun silam bisa dihindari apabila Amerika Serikat tidak menolak permintaan Rusia menjadi anggota NATO. Tiga kali Vladimir Putin mengajukan permintaan, tiga kali pula AS menolaknya. Ironisnya Presiden George Bush pada KTT NATO di Ukraina tahun 2008, menawarkan Ukraina menjadi anggota NATO.
Presiden AS Jenderal Dwight D.Eisenhower dalam pidato perpisahan pada Januari 1961 memperingatkan kepada bangsanya tentang apa yang dipandangnya merupakan satu tantangan paling besar yakni kehadiran military industrial complex (MIC) yang terdiri kontraktor industri militer dan para pelobi yang mengusulkan konflik/perang atau mengekalkannya. “MIC telah muncul menjadi kekuatan tersembunyi dalam politik Amerika Serikat.”
Jadi tidak mengherankan bila militer AS terlibat dalam perang Vietnam, perang Teluk, menyerbu Irak, menyerang Libya, Syria, Yaman dan lainnya. Anggaran militernya pada 2022 mencapai US$768 miliar atau lebih dari Rp 11.000 triliun. Tiga kali lebih banyak dari anggaran China dan 10 kali lebih besar dari anggaran militer Rusia. Meskipun begitu masih saja menganggap Beijing dan Moskow sebagai ancaman.***