Oleh: Marzuki Usman
Peristiwanya terjadi sudah cukup lama sekali sekitar tahun 1950-an. Pada waktu itu penulis masih murid Sekolah Rakyat (SR), sekarang Sekolah Dasar (SD), sampai dengan tahun 1957, di dusun mersam, Kabupaten Batanghari, Jambi. Karena pada waktu ittu Sekolah Menengah Pertama (SMP) hanya baru ada satu di Ibu Kota Keresidenan Jambi yakni Kota Jambi saja.
Pada waktu itu, pada level Marga (Kelurahan), Kembang Paseban sudah ada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marga. Dan, para anggotanya langsung dipilih oleh penduduk yang berumur 17 tahun ke atas di Marga itu.
Di dusun mersam, pada waktu itu belum banyak orang kayanya. Karena, karet yang dihasilkan di Marga itu, harga karet masih merayap, pada kisaran Rp20 per kilogram. Orang kaya, hanya satu orang saja, yakni pedagang barang-barang keperluan hidup sehari-hari. Namanya, Haji Bedul Jinak. Diberi gelar Jinak, karena Beliau memiliki banyak kerbau yang jinak-jinak. Beliau ini, besahabat dengan temannya yang anggota DPR - Marga (Kelurahan) yang bernama Dolah.
Sebagai temannya Dolah maka Bapak Haji Bedul Jinaklah, yang membiayai temannya itu, untuk membujuk orang kampung, untuk memilih Dolah, untuk menjadi anggota DPR Marga. Karena Bapak Dolah, dahulu karena ayahnya adalah Kepala Marga (Kelurahan) Mersam maka beliau itu adalah cuma satu-satunya Putera dusun mersam yang bersekolah tinggi (SMP).
Dan, ketika ada pemilihan kepala Marga dusun mersam, maka Bedul Jinak membantu seratus persen pembiayaannya, sehingga Dolah berhasil menjadi Kepala Marga di dusun mersam. Dan berikutnya, sepuluh tahun kemudian, maka Dolah berhasil menjadi Bupati Kabupaten Batanghari.
Setelah Dolah menjadi Bupati Kabupaten Batanghari memasuki tahun ketiga, maka timbullah “Tabi’at Kesombongannya”. Bupati yang sombong ini, sudah melupakan jasa-jasa dari sahabatnya Bedul Jinak. Jika si Bupati itu lagi berpidato di depan rakyat Kabupaten Batanghari, yang juga dihadiri oleh Bedul Jinak. Bupati itu pura-pura tidak melihat, apalagi untuk menyapa Bapak Bedul Jinak.
Para teman Bedul Jinak menyampaikan kepada Beliau, bahwa temannya itu, yakin si Dolah, sudah seperti ”Kacang Lupa di Kulit”. Kacang itu, kalau kita makan, enak sekali. Tetapi si kacang, sudah lupa bahwa dia bisa besar, karena ada kulit! Akibatnya biji kacang itu dimakan orang, dan hasilnya pergi ke WC?
Dan, rupanya seperti kacang itu, akhirnya terjadi kepada Bapak Bupati Dolah itu. Dia lupa daratan. Maka, akhirnya dia menggelapkan uang Kabupaten. Dan, dia berakhirlah bermukim di Rumah Penjara. Dan, Dolah akhirnya menghembus nafas penghabisannya di Hotel Prodeo, alias Rumah Penjara. Penulis memohon kehadirat Ilahi, janganlah sampai terjadi lagi, perbuatan seperti Kacang Lupa di Kulit di bumi NKRI kita. Amiinn
Jakarta, Menjelang Isra Mi’raj 1444 H