Jangan Terkecoh dengan Narasi Ancaman Amerika Serikat

- Senin, 9 Januari 2023 | 09:39 WIB
Ilustrasi.(Dok/gontor.ac.id)
Ilustrasi.(Dok/gontor.ac.id)


Oleh: Sjarifuddin Hamid

SINAR HARAPAN - Data Departemen Perdagangan Amerika Serikat menyebutkan, ekspor AS ke Taiwan pada 2021 mencapai US$36,9miliar sedangkan impornya US$77,1. Sekalian jumlah itu kecil dibandingkan dengan ekspor AS ke China yang mencapai US$151,07miliar. Impornya US$541,53miliar.

Masalahnya mengapa Amerika Serikat terus menerus menganggap China sebagai ancaman terutama terhadap Taiwan? Padahal hubungan dagang China-Taiwan luar biasa. Ekspor Taiwan ke China berjumlah sekitar US$81,51miliar. Impornya US55,02miliar.

Di sisi lain, total perdagangan AS-China pada 2021 berjumlah US$51,4miliar, disusul AS-Kanada pada tempat kedua dengan US$ 44,9 miliar. Jumlah yang amat besar sekalipun sekalipun Beijing-Washington saling bertukar sangsi bahkan sudah berada dalam kategori perang dagang.   

Penyebabnya. Amerika Serikat menganggap China sebagai ancaman bagi kelangsungan demokrasi di Taiwan. Oleh sebab itu sekalipun AS mempertahankan kebijaksanaan Satu China dan  tidak mengakui secara resmi pemerintah Taiwan, tetapi akan membela apabila Taiwan diinvasi China.

Dalam konteks tersebut, Amerika Serikat sebagai kampiun demokrasi merasa bertanggung jawab terhadap kelangsungan Taiwan dari pengaruh China. Jargon tersebut di Taiwan diterima para penentang unifikasi dengan China. Tetapi mengapa AS tidak mengusahakan cara lain supaya ada perdamaian Taiwan?

Lontaran narasi ancaman yang permanen memang disengaja agar dapat memelihara moral tentara Amerika Serikat. Tujuan berikutnya adalah menjual senjata kepada Taiwan. Sebelum pertemuan Joe Biden-Xi Jinping di Bali pada 14 November 2022, Deplu AS menyetujui penjualan sukucadang kepada Taiwan untuk skuadron F-16, C-130 Hercules dan berbagai jenis sistem senjata. Harganya lebih dari US$425 juta.

Badan Kerjasama Keamanan Pertahanan Pentagon di awal tahun lalu juga menyebutkan telah menjual kepada Taiwan sistem radar peringatan dini seharga U$$655 juta. 60 rudal Harpoon US$355 juta yang mampu menenggelamkan kapal. Rudal permukaan ke udara dan udara ke udara Sidewinder dengan harga US$85,6 juta.

Membingungkan

Para pemimpin negara lain umumnya faham mengapa Amerika Serikat memisahkan hubungan ekonomi-perdagangan dengan politik keamanan. Kebijaksanaan luar negeri AS dimainkan empat pihak yang seringkali bersatu, namun terkadang berjalan sendiri-sendiri.

Keempatnya adalah CIA, Pentagon, Kemlu dan Gedung Putih. Keempatnya tidak lepas dari pengaruh para pelobi  termasuk dari  industri militer. Kantor lobbyst itu berdekatan dengan gedung Capitol alias Kongres, Gedung Putih dan departemen.   

Dewasa ini, Joe Biden dibantu para mitra kerjanya ketika dia menjadi Wapres dalam pemerintahan Presiden Barack Obama. Menlu Antony Blinken misalnya, ketika itu menjadi wakil penasehat keamanan nasional (2013-2015) dan wakil menlu (2015-2017). Dia merupakan pendukung invasi ke Irak dan bersikap keras terhadap China. Blinken juga disebut dekat dengan para kontraktor militer karena persetujuan penjualan senjata ke negara lain harus datang dari State Departement.

Sikap keras Blinken ditunjukkan ketika dia tidak mau menerima surat-surat kepercayaan Dubes China untuk AS Qin Gang (2021-2022). Selama 500 hari bertugas di AS, Qin Gang hanya dijumpai Wendy Ruth Sherman, wakil Blinken. Ironisnya Qin Gang kini menjadi menlu menggantikan Wang Yi yang diangkat menjadi kepala kantor luar negeri partai komunis.  

Bila dalam waktu dekat Blinken ke Beijing menindak lanjuti hasil pembicaraan Joe Biden-Xi Jinping di Bali. Apakah Qin Gan akan membalas?

Sikap keras para pejabat AS kerap ditunjukkan juga kepada para sekutunya. Dalam perundingan dagang Jepang-AS beberapa belas tahun lalu, seorang pejabat membuat pesawat terbang dari kertas proposal yang diajukan delegasi perunding Jepang. Pernah kejadian juga, delegasi Korea Selatan dibentak-bentak saat membahas anggaran belanja penempatan pasukan AS di Semenanjung Korea.

Narasi tentang adanya ancaman terhadap masa depan demokrasi  sangat membantu dalam meyakinkan para pembayar pajak AS tentang perlunya menaikkan anggaran militer. Presiden Biden mengusulkan belanja pertahanan US$773 miliar untuk tahun anggaran 2023. Naik US$30,7 miliar dari tahun 2022. Dengan rincian US$177,5 miliar untuk AD. US$194 miliar buat AU dan Ruang Angkasa. US$230,8 miliar bagi AL dan Korps Marinir.

Bandingkan dengan anggaran militer Rusia untuk tahun ini yang berjumlah US$61.7 miliar. Jepang US$49,1 miliar. China diperkirakan US$252 miliar. India US$72,9 miliar. Inggris US$59,2 miliar. Saudi Arabia US$57,5 miliar. Jerman US$52,8 miliar. Prancis US$52,7 miliar. Korea Selatan US$45,7 miliar. Jadi anggaran militer AS setidaknya setara dengan anggaran militer sembilan negara.

Pendekatan China Kepada Taiwan

Setelah Jepang menyerah pada akhir Perang Dunia II, pulau Taiwan ditempatkan dibawah pemerintah China nasionalis Kuomintang pada 25 Oktober 1945.   Penempatan itu dikuatkan dengan penandatanganan Perjanjian Perdamaian Republik China (Nasionalis)-Jepang di Taipei tahun 1952. Ketika pemimpin Republik China (Nasionalis) Chiang Kai-Shek dikalahkan Mao Zedong cs, dia melarikan diri ke Taiwan. Membentuk pemerintahan baru.

Mao Zedong menjalankan sikap konfrontatif namun tak pernah menginvasi Taiwan karena faktor Amerika Serikat. Pendekatan China terhadap berubah secara bertahap  menjadi lunak dari waktu ke waktu. Terutama sejak Deng Xiaoping dan para penerusnya berkuasa. Mereka digambarkan membuat Taiwan seperti katak yang berendam di air hangat. Kelak Taiwan makin lama makin terlena. Mengantuk.

Akhirnya menjadi bagian dari China Daratan. Kedua negara pada 2010 menandatangani Persetujuan Kerangka Kerjasama Ekonomi yang memberi keleluasaan kepada investor untuk berinvestasi dan perdagangan. Sektor-sektor yang dibuka antara lain industri, keuangan, UMKM dan lain-lain.

Sebaliknya, pemerintah China mengizinkan pembangunan Zona Investasi Quanzhou di provinsi Fujian, di seberang selat Taiwan. Luasnya sekitar 219 kilometer persegi dan berpenduduk  sekitar 338 ribu jiwa. Setidaknya 108 perusahaan seperti Derun dan Lida serta 132 perusahaan yang mempunyai prospek.

Pemerintah China telah membuat kebijaksanaan dan layanan untuk menjamin para karyawan dapat bekerja dan tinggal secara nyaman,  sebagaimana yang mereka dapat di Taiwan.

Dewasa ini, terdapat sedikitnya 4.200 perusahaan Taiwan dan lebih dari 404 ribu penduduk Taiwan, umumnya bermarga Han, di seluruh China. Kebanyakan mereka tinggal di provinsi Fujian.

Transportasi antara kedua pihak juga semakin mudah. Terdapat 18 layanan penerbangan dari Taipei ke Beijing dalam seminggu. Selain dari Beijing juga ada penerbangan langsung dari Shenzhen, Shanghai Hongqiao, Makao, Hong Kong ke Taichung, Taoyuan, Kaohsiung dan Songshan.
 
Selain juga layanan ferry dari Xiamen, Makao dan Hong Kong.  Penduduk kedua pihak dapat memanfaatkan tiga cara melalui laut.  Menggunakan kapal dai Fuzhou di China ke pulau Matsu (Taiwan). Lalu dari sana ke Keelung. Memanfaatkan kapal laut ulang alikdari Xiamen ke Keelung. Kapal cepat dari pulau Pingtan (China) ke Taichung (Taiwan). China sendiri menanam modal di Taiwan pada 2021 sebanyak US$2,67 miliar.

Bila dirinci, investasi terbanyak berasal dari provinsi Jiangsu disusul Guangdong, Fujian, Zhejiang, Shanghai, Beijing, Tianjin dan provinsi-provinsi lainnya.

Taiwan pada masa pemerintahan Presiden Ma Ying-jiu (20 Mei 2008-20 Mei 2016) mengambil langkah kontroversial dengan mengizinkan investor China memasuki sektor teknologi tinggi. China sangat tertarik dengan kualitas SDM serta Riset dan Pengembangannya.

Prospek

Prospek hubungan tiga pihak, China-AS-Taiwan, pada tahun ini tidak lebih baik dari tahun lalu karena AS masih memerlukan ketegangan permanen. Adapun China melalui Wang Yi menegaskan perlunya mengubah mental Perang Dingin, sedangkan Taiwan yang dipengaruhi orientasi partai yang berkuasa.

Sungguhpun demikian, di balik narasi ancaman dan pengerahan kekuatan militer, hubungan perdagangan dan investasi ketiga pihak terus berlanjut bahkan seperti tak terganggu. Indonesia harus mewaspadai kondisi ini perluasan pengaruh China di Indonesia tak dikehendaki  AS sendiri, Jepang dan mungkin Eropa Barat.***

Editor: Norman Meoko

Sumber: opini

Tags

Terkini

Kontroversi Dana Rp349 Triliun

Kamis, 30 Maret 2023 | 06:55 WIB

Buntung Karena Utangnya Melambung?

Selasa, 28 Maret 2023 | 06:31 WIB

Awak Masih Merangkak! Orang Lain Sudah Berlari!!!

Selasa, 21 Maret 2023 | 07:52 WIB

AS Gagal di Eropa, Peringatan Bagi Asia

Kamis, 16 Maret 2023 | 11:38 WIB

Berengkes Ikan Tempoyak?

Selasa, 14 Maret 2023 | 07:36 WIB

Kebijakan Jemput Bola?

Selasa, 28 Februari 2023 | 06:03 WIB

Pamer Kekayaan dan Hancurnya Revolusi Mental Jokowi

Senin, 27 Februari 2023 | 15:00 WIB

Siapa Wang Huning?

Kamis, 23 Februari 2023 | 06:08 WIB

Mengurai Kemacetan Jakarta hingga Akar Masalah

Sabtu, 18 Februari 2023 | 13:47 WIB

Orang Amerika Serikat Manusia Juga? (Tolong Menolong!)

Selasa, 14 Februari 2023 | 07:16 WIB
X