Catatan Akhir Tahun (Seri 2): Ketimpangan Sosial dan Kemiskinan

- Jumat, 23 Desember 2022 | 06:10 WIB
Ilustrasi kesenjangan sosial.(Dok/Marketeers)
Ilustrasi kesenjangan sosial.(Dok/Marketeers)


Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

Saya lanjutkan pembahasan kita tentang tujuh tantangan ke depan. Kemarin sudah saya paparkan tantangan pertama soal demokrasi. Hari ini soal ketimpangan sosial baik antar daerah maupun lapisan sosial kita.

Jokowi baru saja membanggakan perekonomian Maluku Utara yang tumbuh 27% pada kuartal ketiga tahun 2022 dan  inflasi rendah 3,3% di hadapan peserta Rakornas Investasi di Jakarta pada 30 November 2022 lalu.

Menurut Jokowi ini adalah potret pertumbuhan terhebat di dunia. Indonesia harus mempertahankan postur ekonomi Maluku Utara seperti itu.

Pertanyaannya apakah kebanggaan Jokowi itu mewakili kebanggaan rakyat Indonesia? Khususnya rakyat Maluku Utara? Apakah benar pertumbuhan itu bermanfaat buat rakyat di sana?

“Bossman Mardigu dalam Channel You Tube-nya pada 27 Oktober 2022 maupun dalam kutipan yang diberitakan inilah.com pada 9 Desember 2022 dengan judul “Jor-joran Tambang Nikel di Maluku Utara, China Untung Rp50 Triliun Setahun” menunjukkan omongan Jokowi itu hanya isapan jempol belaka.

Bossman yang mengunjungi Desa Lelilef, Halmahera Tengah tempat beroperasinya tambang nikel milik Tsingshan Industry pada awal Oktober 2022 lalu menghitung setiap tahunnya kekayaan Maluku Utara itu dibawa ke China sebesar Rp35 Triliun hingga Rp50 Triliun. Dan itu sudah berlangsung setidaknya tiga tahun belakangan ini.

Sebaliknya, Bossman tidak melihat adanya kemajuan Desa Lelilef tersebut dibandingkan ketika dia ke sana sepuluh tahun lalu. Bahkan, menurutnya lingkungan di sana akan rusak setelah kekayaan alamnya dikeruk habis nantinya.

Dr. Mochtar Adam, cendikiawan setempat dalam Porostimur.com pada 5 Desember 2022 di bawah judul “Jokowi Banggakan Ekonomi Malut 27 Persen, Tapi China Untung Besar” juga membantah klaim Jokowi yang mengaitkan pertumbuhan dengan kesejahteraan rakyat di sana.

Menurutnya, rakyat di sana tetap saja miskin. Terakhir sekali, kemarin, Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba sendiri yang memberikan pernyataan bahwa pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang dibanggakan Jokowi itu tidak dinikmati rakyat. Bahkan pemerintah di sana tidak mampu memperbaiki lingkungan yang rusak. (CNN Indonesia.com, 22/12/2022).

Kekayaan alam yang dikeruk perusahaan China, Tsingshan dan mitranya secara besar besaran ini memang tidak menjadi bagian Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menghitung koefisien gini dan inflasi yang berbasis pengeluaran. Karena BPS tidak menghitung Gini ratio berbasis penghasilan dan juga BPS tidak menghitung uang yang dibawa keluar.

Coba kita lihat situs BPS Halmahera Barat, Maluku Utara membuat uraian sebagai berikut: “Distribusi pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah di Provinsi Maluku Utara pada Maret 2022 yaitu sebesar 23,04 persen dan termasuk pada kategori ketimpangan rendah.”

Benarkah ketimpangan rendah? Bisakah ketimpangan itu diukur dari potensi kekayaan rakyat Malut jika uang hasil tambang itu dibagikan kepada mereka versus fakta saat ini? Jika kita memotret Index Pembangunan Manusia sejak tahun 2020 sampai 2022, semua kabupaten di Maluku Utara kecuali Ternate, jauh di bawah IPM rata-rata nasional. Halmahera Tengah yang di potret Mardigu sebesar IPM-nya 66, sedangkan IPM nasional 72,9.

Rata-rata lama Pendidikan/sekolah masyarakat Malut juga rendah yakni 9 alias hanya tamat SMP kecuali di Ternate mencapai 12 atau tamat SMA. Bahkan selebihnya banyak yang hanya tamat SD. Pengeluaran yang di rilis BPS per kapita juga tidak menunjukkan kesejahteraan yakni sebesar Rp 8.212.000 per kapita per tahun untuk Halmahera Tengah. Begitu juga kabupaten lainnya di luar Ternate. Bahkan, mayoritas hanya pada kisaran Rp6,5 juta hinggaRp7,5 juta saja.

Bukankah akan sangat timpang jika kita melihat puluhan triliun uang dibawa dari Maluku Utara sedangkan rakyatnya tidak bertambah kekayaannya?

Lalu bagaimana kita melihat ketimpangan di wilayah lainnya? Fenomena kekayaan alam Indonesia yang dikeruk segelintir elit oligarki dan bersekongkol dengan penguasa atau bahkan oligarki itu sendiri menjadi penguasa telah menjadi pembicaraan umum hampir delapan tahun belakangan ini.

Penguasa tambang batubara, emas, bauksit dan tambang-tambang lainnya lalu penguasa kebun sawit, tebu dan perkebunan-perkebunan berskala raksasa lainnya serta oil dan gas, hutan dan perikanan, di luar bahasan Nikel di atas juga merupakan pengeksploitasi kekayaan alam nasional yang menguntungkan sebagian kecil orang sehingga membuat ketimpangan ekonomi di Indonesia semakin lama semakin menjulang tinggi.

Potret ini mirip dengan potret perekonomian nasional ketika VOC (Verenigde Oostindsiche Compagnie) dan pemerintahan kolonial Belanda menjajah Indonesia dulu. Rakyat cuma menjadi penonton.

Keluhan lainnya, selain dari Maluku Utara, baru-baru ini, telah kita saksikan dari Bupati Kepulauan Meranti, Riau, H. Muhammad Adil yang merasa bagi hasil eksplotasi minyak bumi tidak menguntungkan mereka. Menurutnya, Kementerian Keuangan adalah sarang iblis dan setan yang memiskinkan rakyat di sana.

Begitu juga dari Wakil Ketua DPRD Sintang, Kalimantan Barat terkait penggunaan lahan sawit yang tidak menguntungkan rakyat di sana.

Ketika krisis minyak goreng terjadi, awal tahun lalu, perusahaan-perusahaan sawit yang mengontrol kebutuhan pokok minyak goreng, terbukti menjual hampir semua produknya ke luar negeri sehingga rakyat Indonesia menderita kesulitan mendapatkan minyak goreng.

Ini sebuah ironi ketika Indonesia merupakan produsen terbesar di dunia. Pengusaha-pengusaha itu hanya bermotif keuntungan pribadi semata, tidak ada idelisme maupun nasionalisme. Pemerintah memang marah dan berjanji akan melakukan audit. Namun, ketika kejaksaan agung menangkapi mafia minyak goreng tersebut, semua terkaget-kaget karena persoalan ini terhubung dengan petinggi negara.

Setidaknya seorang pejabat tinggi selevel Dirjen ikut di tangkap. Ketika pemerintah berusaha melacak keberadaan perusahaan-perusahaan sawit, pemerintah menyatakan kaget karena banyak sekali perusahaan itu berkantor pusat di luar negeri.

Dalam berita RMOL pada 28 Mei 2022 dengan judul “Luhut Kaget Banyak Perusahaan Sawit Berkantor di Luar Negeri, Anthony Budiawan; Koq Baru Tahu?”, pemerintah menyatakan bahwa perusahaan ini mengambil keuntungan dari bumi Indonesia tetapi membayar pajak di negara lain. Namun, sampai saat ini perkembangan audit itu belum jelas hasilnya.

Pada berita bpkb.go.id pada 31 Oktober 2022 dengan judul “Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Timur Hadiri Rapat Pansus Plasma Di DPRD Kab Kutai Barat”, isu audit itu masih berlangsung. Jika pemerintah gagal mengendalikan kelompok-kelompok pengusaha sawit yang selalu mementingkan bisnisnya ketimbang kesejahteraan rakyat maka ini merupakan cermin bagi kelompok usaha atau oligarki lainnya, di mana pemerintah tidak mungkin mampu mengendalikan mereka untuk kepentingan nasional.

Pertanyaan lalu muncul, mengapa mereka gagal mengendalikan kelompok pengusaha yang mengkhianati rakyat?

Tantangan nasional berupa ketimpangan dan kemiskinan ini berakar pada sistem kapitalisme yang terus berkembang pesat di Indonesia. Sistem ini berpusat pada penggandaan uang alias riba. Pembangunan atau projek hanya bisa berkembang dalam pertimbangan hitungan “return to capital” atau di mana uang bisa diputar dengan untung yang lebih banyak.

Sistem kapitalisme ini membuat negara menjadi “kuda troya” bagi keuntungan segelintir orang. Berbagai UU, seperti Omnibus Law Ciptaker, dan kebijakan lainnya, seperti kontrol atas upah buruh murah, pemberian lahan-lahan secara obral terhadap investor asing, dan lainnya terus berlangsung.

Dalam sistem ini, tugas negara atau penyelenggara negara harus memastikan kemanjaan pemilik modal itu maksimal. Jika ada yang mengalangi kemanjaan itu maka mereka harus ditumpas. Bedanya kapitalis barat di masa lalu versus kapitalis Peking saat ini. Yang pertama menyandera bangsa-bangsa miskin lebih pada bunga uang yang tinggi, sedangkan kapitalis China membawa buruhnya dari RRC menjadi pekerja kasar ke Indonesia yang menyisakan sedikit kerjaan bagi pekerja pribumi lokal.

Ketimpangan dan kemiskinan yang terus melebar semakin parah dengan adanya pandemi Covid-19 selama dua tahun ini. Akibat pandemi, jutaan orang kehilangan pekerjaan dan jutaan usaha mengalami kebangkrutan. Namun, pandemi ini juga dapat menjadi refleksi jika pandemik itu sebuah keharusan bagi kita untuk belajar mencintai kehidupan dan solidaritas. Belajar mencintai alam dan Tuhan YME.

Refleksi pertama yang harus dilakukan adalah apakah bangsa ini bisa menghargai pasal 33 UUD 1945 yakni seluruh kekayaan alam adalah milik negara? Refleksi kedua adalah apakah sila ke-5 Pancasila itu yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dapat kita mulai canangkan?

Refleksi pertama ini misalnya penting saya uraikan sebagai berikut. Beberapa waktu lalu saya ketemu dengan pimpinan perusahaan batubara terbesar di Indonesia. Kebetulan teman kuliah di ITB. Dengan santainya dia mengatakan telah mensubsidi perusahan listrik negara (PLN) karena memberikan harga batubara murah ke perusahaan itu. Dia menghitung subsisdi yang dia berikan triliunan rupiah. Tapi, menurut saya jika pasal 33 UUD 45 diberlakukan maka semua tambang yang dia miliki adalah milik negara. Kepemilikan perusahaan dia di tambang itu hanya bersifat derevatif. Sehingga konsep DMO (Domestic Market Obligation) dengan harga pemerintah itu adalah hak rakyat yang memang begitu adanya, bukan kebaikan ati pengusaha.

Seandainya negara benar-benar menguasai tambang batubara, misalnya maka perusahaan pemilik tambang yang ada selama ini, dapat difungsikan hanya sebatas kontraktor saja dan itupun untuk bisnis UMKM dan skala menengah. Konsep penguasaan negara ini harus tegas. Belakangan ini “windfall” yang dibanggakan Sri Mulayani Indrawati dari ekspor batubara tidaklah banyak diperoleh negara sebagai inkom. Padahal Faisal Basri sudah menghitung penjualan batbara itu mencapai seribuan triliun rupiah. Refleksi ini berlaku juga untuk semua bisnis ekstraktif yang tidak memerlukan sentuhan teknologi.

Refleksi kedua adalah konsep pembangunan ke depan. Professor Stiglitz, Amartya Sen dan Fittousi bersama puluhan professor lainnya di Prancis pada tahun 2008 telah mengkritik konsep pembangunan yang hanya berpusat pada ukuran GDP. Mereka menekankan pentingnya ukuran kualitas hidup yakni yang menekankan keseimbangan kesejahteraan (share prosperity) dan keberlanjutan (menyisakan kekayaan alam untuk generasi anak cucu).

Mereka juga mengkritik BPS (Biro Pusat Statistik) negara-negara di dunia yang kurang memasukkan unsur kualitatif dalam memotret kesejahteraan. Jika kita ingin kembali ke sila ke-5 Pancasila maka kita harus meninggalkan praktik-praktik kapitalisme itu. Namun, jika mampu. Jalan tengahnya adalah melakukan anjuran Sitglitz dkk.

Itu bisa dilakukan dengan memilih dan memilih konsep pertumbuhan yang dibangga-banggakan Jokowi di atas. Pertama pertumbuhan, lalu pemeratan (Growth than equity); kedua, pertumbuhan dan pemerataan (Growth with equity); dan ketiga, pertumbuhan melalui pemerataan (Growth through equity).

Untuk pembangunan berbasis ekstraktif, seperti batubara, bauksit, emas atau kebun sawit dapat dilakukan dengan growth through equity. Paham sosialisme ataupun socialistic Islamisme mulai diberlakukan. Atau seperti anjuran Bung Hatta mengutamakan koperasi. Jadi ke depan pemilik tambang emas, batubara, bauksit atau nikel diserahkan kepada koperasi saja. Maka, kemiskinan dan ketimpangan akan segera menurun. Untuk bisnis  atau pembangunan berbasis teknologi tinggi, bisa dilakukan dengan konsep “Growth than Equity”.

Konsep mobil listrik, misalkan, pemerintah dapat menyerahkan hal itu murni pada swasta. Di antara ekstrem ini dapat dipilih jalan Growth with equty.

Namun, refleksi ini susah dilakukan jika segelintir manusia rakus ingin mempertahankan kontrol kekayaannya di Indonesia. Oleh karenanya, tugas rakyat adalah menjadikan orang-orang rakus sebagai musuh bersama rakyat Indonesia. Semua kekuatan rakyat harus bersatu padu mengatur ulang kepentingan rakyat Indonesia, keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Bernegara, sekali lagi, seharusnya memberi kesejahteraan bersama (share properity) bukan semakin memperlebar kesenjangan sosial.***

Editor: Norman Meoko

Sumber: opini

Tags

Terkini

Kontroversi Dana Rp349 Triliun

Kamis, 30 Maret 2023 | 06:55 WIB

Buntung Karena Utangnya Melambung?

Selasa, 28 Maret 2023 | 06:31 WIB

Awak Masih Merangkak! Orang Lain Sudah Berlari!!!

Selasa, 21 Maret 2023 | 07:52 WIB

AS Gagal di Eropa, Peringatan Bagi Asia

Kamis, 16 Maret 2023 | 11:38 WIB

Berengkes Ikan Tempoyak?

Selasa, 14 Maret 2023 | 07:36 WIB

Kebijakan Jemput Bola?

Selasa, 28 Februari 2023 | 06:03 WIB

Pamer Kekayaan dan Hancurnya Revolusi Mental Jokowi

Senin, 27 Februari 2023 | 15:00 WIB

Siapa Wang Huning?

Kamis, 23 Februari 2023 | 06:08 WIB

Mengurai Kemacetan Jakarta hingga Akar Masalah

Sabtu, 18 Februari 2023 | 13:47 WIB

Orang Amerika Serikat Manusia Juga? (Tolong Menolong!)

Selasa, 14 Februari 2023 | 07:16 WIB
X