Sengkarut Impor Beras, Mengulang-ulang Ketidakberesan Data Pemerintah

- Rabu, 21 Desember 2022 | 05:15 WIB

Ilustrasi (dok/ngelmu.co)

SINAR HARAPAN--Pemerintah lagi-lagi mempertontonkan kepada publik lemahnya kordinasi sehingga keputusan yang mereka ambil pun menimbulkan kontroversi. Kali ini menyangkut data stok beras nasional yang tidak sinkron dan ujung-ujungnya dilakukan impor. Jumlahnya dikabarkan mencapai 500.000 ton hingga akhir tahun.

Bukan sekarang saja kontroversi seperti ini terjadi. Meski telah menuai kritik bertubi-tubi, beberapa instansi pemerintah terkesan jalan sendiri-sendiri, pakai data sendiri dan logikanya sendiri. Bukan hanya inmpor beras. Pada masa lalu terjadi kontroversi serupa terkait impor garam, gula pasir, daging, bahkan ikan teri. Yang menyedihkan, dalam sejumlah kasus, perkara impor ini sering berkait dengan fee dan korupsi sehingga menjadi masalah hukum.

Belum lama ini Kejaksaan Agung menetapkan empat tersangka kasus dugaan korupsi impor garam. Tiga diantaranya adalah pejabat pemerintah. Penyidik sudah melakukan gelar perkara dan menetapkan empat tersangka dalam kasus tersebut.

Banyak kasus lainnya yang terkait perkara ekspor dan impor. Semuanya melibatkan para pejabat pemerintah, dari pejabat tinggi dan menyeret pejabat yang rendahan. Lihat saja dalam kasus ekspor minyak goreng, impor tekstil, impor besi dan baja, masih banyak lagi. Kasusnya kini masih menjadi pekerjaan rumah bagi penegak hukum di Kejaksaan Agung, sebagian sudah masuk pengadilan.

Yang aneh, tidak ada upaya mengakhiri silang sengketa data. Maka bisa ditebak, bila mulai ada pernyataan mengenai kelangkaan pasar atau harga naik, ujungnya impor. Kondisi seperti sudah bertahun tahun terjadi, namun tidak juga diakhiri. Ini hanya menunjukkan betapa bebal dan egoisnya para pejabat berwenang, yang tidak mau duduk dan memutuskan bersama, agar ada kesamaan data dan satu suara dalam kebijakannya.

Mau impor atau tidak itu wewenang pemerintah.  Tapi mempertontonkan ketidakberesan data dan lemahnya koordinasi adalah memalukan, mengingat yang menjadi korban juga rakyat sendiri. Padahal isu utama yang mestinya dikedepankan pemerintah adalah pemberdayaan rakyat, khususnya petani yang berhak menikmati jerih payah mereka.

Maka alasan apapun yang mereka ajukan, tetaplah kebijakan jalan pintas impor selalu membingungkan dan menimbulkan kecurigaan. Ada apa sebenarnya?

kementrian pertanian menyatakan stok beras aman. Diperhitungkan hingga akhir tahun ini stok nasional aman. Karenanya pemerintah tidak perlu impor. Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Suwandi, belum lama ini menyatakan bahwa stok beras nasional melimpah, pemerintah tidak perlu impor. Suwandi merunut pada data BPS Januari-September 2022 yang menyatakan bahwa produksi beras Indonesia 2022 diperkirakan mencapai 32,07 juta ton. "Ini kami pakai data BPS," ujarnya di DPR Rabu pekan lalu.

Namun Perum Bulog mengusulkan impor untuk menambah cadangan beras pemerintah (CBP) yang hanya mencapai 594.856 ton per 22 November 2022. Jumlah cadangan beras pemerintah atau CBP tersebut jauh di bawah angka ideal minimal sebesar 1,2 juta ton.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) sudah menyetujui Bulog impor beras sebanyak 500.000 ton. Pekan lalu sebanyak 4.900 ton beras impor tiba dari Vietnam. Ini merupakan bagian dari 200 ribu ton yang akan tiba tahun ini. Tahun depan, menyusul 300 ribu ton. Tak cuma Vietnam, juga beras Thailand dan Pakistan.

Proses impor diperkirakan membutuhkan waktu sekitar 2-3 bulan. Jika pemerintah memutuskan impor sekarang, kemungkinan barang impor akan tiba di Indonesia sekitar Februari 2023. Di saat itu diperkirakan memasuki panen raya. Petani lagi yang akan menjadi korban. Stok akan melimpah harga pun cenderung turun.

Kita garisbawah pernyataan ekonom Yusman Syaukat. Ia menyarankan pemerintah menggunakan satu data secara bersama, terutama terkait data produksi dan konsumsi beras. Agar tidak terjadi sengkarut dalam hal impor beras. Toh tiga tahun terakhir ini Badan Pusat Statistik (BPS) secara eksplisit menyatakan tidak ada impor beras reguler karena Indonesia surplus beras. Artinya, beras yang diimpor hanya untuk keperluan khusus, seperti beras basmati dan sebagainya.

Perbedaan data produksi dan konsumsi beras sering terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara lembaga-lembaga terkait, kata Yusman. Pemerintah, harus sadar diri dan segera mengharmonisasi data menjadi satu. Sehingga perdebatan dalam menyiapkan kebijakan untuk antisipasi dapat diminimalkan.

Halaman:

Editor: Banjar Chaeruddin

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Kontroversi Dana Rp349 Triliun

Kamis, 30 Maret 2023 | 06:55 WIB

Buntung Karena Utangnya Melambung?

Selasa, 28 Maret 2023 | 06:31 WIB

Awak Masih Merangkak! Orang Lain Sudah Berlari!!!

Selasa, 21 Maret 2023 | 07:52 WIB

AS Gagal di Eropa, Peringatan Bagi Asia

Kamis, 16 Maret 2023 | 11:38 WIB

Berengkes Ikan Tempoyak?

Selasa, 14 Maret 2023 | 07:36 WIB

Kebijakan Jemput Bola?

Selasa, 28 Februari 2023 | 06:03 WIB

Pamer Kekayaan dan Hancurnya Revolusi Mental Jokowi

Senin, 27 Februari 2023 | 15:00 WIB

Siapa Wang Huning?

Kamis, 23 Februari 2023 | 06:08 WIB

Mengurai Kemacetan Jakarta hingga Akar Masalah

Sabtu, 18 Februari 2023 | 13:47 WIB

Orang Amerika Serikat Manusia Juga? (Tolong Menolong!)

Selasa, 14 Februari 2023 | 07:16 WIB
X