SINARHARAPAN--Keputusan pemerintah melarang ekspor kelapa sawit (crude palm oil) dan produk turunannya sangat tegas dan tepat. Bila tidak ada keputusan drastis seperti itu bisa diperkirakan harga kebutuhan pokok tersebut akan terus bergejolak dan rawan mengerek laju inflasi.
Keputusan tersebut juga terbilang berani mengingat resistensi kalangan pengusaha yang sempat memprotes langkah Jaksa Agung menahan dan menjadikan masalah minyak goreng menjadi kasus hukum. Sudah empat orang ditahan dan dijadikan tersangka, termasuk Dirjen Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana.
Keputusan tersebut memang bisa berdampak negatif terhadap perolehan devisa ekspor, namun sangat diperlukan dalam jangka pendek agar krisis minyak goreng bisa segera diatasi.
Baca Juga: Presiden Larang Ekspor CPO dan Minyak Goreng
Kejaksaan Agung akan terus menelusuri masalah ini dengan mengusut sejumlah perusahaan yang terlibat dalam permainan pasokan dan harga sehingga menimbulkan kesulitan masyarakat. Di lingkungan Kejaksaan bahkan muncul pertimbangan untuk menerapkan pasal ancaman hukuman mati.
Krisis minyak goreng memang bisa menyulitkan pemerintah karena implikasinya sangat luas. Menjelang Lebaran Iedul Fithri ini persoalan bahan pokok tidak bisa dibiarkan melambung karena bisa menyulut ketidakpercayaan publik kepada pemerintah.
Harga yang bergejolak juga akan menyedot anggaran negara karena pemerintah sudah menjanjikan bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng. Jumlahnya tidak sedikit sehingga mengurangi kemampuan anggaran pemerintah untuk membiayai proyek-proyek prioritas.
Baca Juga: Setelah Tahan Dirjen Daglu, Kejaksaan Akan Periksa Pejabat Kemendag Tak Terkecuali Mendag M Lutfi
Pemerintah juga dibayangi kekhawatiran melonjaknya laju inflasi yang dampaknya sangat luas. Dalam dua tahun terakhir pemerintah bisa membanggakan inflasi yang rendah dan mengharapkan tahun ini juga masih terkendali.