Oleh Taufik Darusman
JAKARTA--Dari waktu ke waktu saya minum kopi atau makan siang bersama dengan warga asing, umumnya pengusaha atau diplomat, untuk bertukar pikiran atau membahas topik tertentu yang sedang hangat. Kerap kali mereka memiliki sudut pandang yang dapat melengkapi sudut pandang perihal suatu peristiwa penting di dalam maupun di luar negeri.
Perjumpaan semacam ini juga saya manfaatkan untuk menjaga kefasihan dalam berbahasa asing yang mulai luntur akibat tidak pernah lagi ke luar negeri akibat pandemi. Kalau mereka yang mengajak, kami bersantap di restoran Italia atau Jepang. Kalau saya yang ajak, saya undang ke restoran khas Indonesia karena (terutama) lebih murah dan sekalian promosi kuliner Nusantara.
Menjelang Hari Sumpah Pemuda saya teringat akan makan siang bersama dengan Philippe Augier beberapa hari setelah 17 Agustus. Philippe adalah penguasaha Perancis yang sudah bermukim puluhan tahun di Indonesia. Ia memiliki hotel dan museum seni rupa di Bali, masing-masing di Ubud dan Nusa Dua. Ia juga ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia-Perancis. Setelah kami memesan makanan, ia mengucapkan selamat atas perayaan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-76.
“Banyak yang sudah dicapai oleh Indonesia selama ini. Terus terang, lebih banyak dari apa yang telah dicapai bekas koloni-koloni Perancis seperti, misalnya, Aljazair dan Tunisia,” katanya.
“Terims, Philippe, tapi itu tidak lepas dari investasi dan dukungan negara-negara maju seperti Perancis. Tapi bekas jajahan Anda, Vietnam, juga hebat perkembangannya, apalagi kalau mereka tidak berperang selama belasan tahun melawan AS,” saya berkata.
“Betul, tapi saya kerap bertanya-tanya mengapa Indonesia sampai bisa dijajah selama 350 tahun oleh sebuah negara kecil seperti Negeri Belanda? Anda ‘kan terkenal sebagai bangsa pejuang yang hebat?” katanya.
“Tunggu dulu, Philippe. Anda, seperti mayoritas warga Indonesia, adalah korban sejumlah ahli sejarah kita yang berkhayal tentang itu,” kata saya, seraya berusaha menafikan apa yang oleh banyak orang dianggap sebagai kekeliruan yang memalukan.
“Orang Belanda memang pertama kali datang ke apa yang kemudian menjadi bagian dari Indonesia, yaitu Banten, pada sekitar 1550. Tapi mereka tidak serta-merta menjajah seluruh Nusantara.”
“Mengatakan bahwa kita dijajah Belanda selama ratusan tahun menghapus jasa Pangeran Diponegoro, Teuku Umar dan Imam Bonjol, untuk menyebut beberapa nama pahlawan nasional, yang berjuang melawan kehadiran Belanda di sini.”
“Ya, saya kira juga demikian. Memang aneh kedengarannya. Sepertinya tidak ada sebuah negara di dunia yang pernah dijajah selama ratusan tahun,” katanya sambil mencicipi sate ayam di hadapannya.
“Benar,” saya katakan, “bahkan saya merasa terhina kalau dikatakan kita dijajah selama berabad-abad. Dan jangan lupa, ketika itu yang namanya Indonesia belum ada. Yang ada adalah sejumlah kerajaan di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Indonesia praktis baru ada secara konsepsional pada 28 Oktober 1928.”
“Apa yang terjadi pada hari itu?” tanyanya.