PADA medio 1993, penulis ikut bersama teman-teman dari Departemen Koperasi berkunjung ke Kota Nanjing di Republik Rakyat China (RRC), untuk kunjungan belajar (Studi Banding atau Comperative Study) menilik kepada gerakan Koperasi di Kota Nanjing. Delegasi Indonesia sebanyak 6 orang, di tempatkan pada suatu hotel di pusat Kota Nanjing.
Pada waktu itu penulis sudah memasuki, usia setengah abad, maka untuk memelihara kesehatan, penulis rajin setiap pagi lari-lari di sepanjang jalan di Kota Jakarta, pada setiap hari sesudah lewat waktu subuh. Dari kebiasaan ini, penulis tetap jalankan juga di Kota Nanjing itu. Pada waktu itu keadaan kehidupan penduduk Kota Nanjing masih jauh dari pada hidup makmur dan bahagia.
Ketika penulis lari-lari pagi di jalan, di Kota Nanjing itu, pada jam 5.30 pagi, penulis terperangah melihat ada seorang China yang sudah berumur, sekitar 50 tahun. Dia mengendarai sepeda dengan membawa tong yang terbuat dari kayu.
Penulis lalu teringat kepada pengalaman penulis di Kota Jambi, pada tahun 1957, sampai dengan tahun 1963. Pada kurun waktu itu, penulis menuntut ilmu di SMP dan di SMA, di Kota Jambi. Pada waktu itu, penulis selalu melihat pedagang keliling keturunan China mengendarai sepeda membawa tong kayu yang berisi, “Kembang Tahu”.
Penulis pada waktu itu di kota Nanjing, bergumam ngebatin, “Oh China ini pada waktu yang masih pagi-pagi sekali sudah jual Kembang Tahu? Dan, ketika penulis mendekati Tong kayu itu, rupanya, mohon maaf, isinya kotoran manusia.
Setelah bertanya kepada rekan-rekan anggota Koperasi di Nanjing itu, maka diperoleh penjelasan yang menakjubkan sebagai berikut.
Pada waktu itu RRC masih miskin. Dan belum ada pada setiap rumah, adanya toilet. Maka untuk itu kepada setiap rumah, diberikan pispot sebanyak jumlah anggota keluarga pada rumah tersebut.
Dan, pada pagi hari, pispot-pispot itu ditaruh di depan pintu masuk rumah. Dan kemudian dikumpulkan oleh Pengendara sepeda tong kayu itu. Kepada kepala keluarga diberikan bayaran oleh Pemerintah kota, sebanyak jumlah pispot, dikalikan jumlah uang per pispot.
Dan, oleh si pengumpul tong kayu itu diangkut ke Tempat Pengolahan Limbah Rumah Tangga (Sewarage Treatment Plant). Dan, lalu ditumpahkan isinya kepada kolam pertama yang luasnya sekitar 500 meter persegi, alias samalah dengan kolam air limbah, lebarnya 10 meter, dan panjangnya 50 meter.
Ada lima kolam pengendapan limbah Rumah Tangga disitu. Setelah melewati proses yakni melewatkan 5 kolam Pengendapan. Kemudian, semua endapan itu dibakar, dan jadilah sebagai pupuk. Dan air limbah setelah melewati 5 kolam pengendapan, maka air itu diberikan obat, dan sudah bisa diminum.
Tetapi untuk lebih baik, maka air endapan yang sudah bersih itu, dialirkan ke sungai. Dan kemudian air sugai itu diolah menjadi air minum.
Itu cerita pengalaman RRC untuk membuat rakyatnya hidup bersih, dan sehat dengan sistem pengolahan limbah Rumah Tangga yang mampu mereka kerjakan.
Sekarang ini karena RRC sudah menjadi negara kaya, maka pengolahan Limbah Rumah Tangga itu, sudah seperti yang terjadi di negara-negara yang sudah maju, yakni : Amerika Serikat, Kanada, Eropa, dan Australia, dan seterusnya, yakni menggunakan sistem jaringan pipa pada setiap rumah sampai kepada kolam pengendapan. Tentu sajalah mahal biayanya?
Penulis masih ngelamun, kapankah kiranya NKRI kita akan memiliki Pengolahan Limbah Rumah Tangga seperti di negara-negara yang kaya.
Seandainya umur penulis boleh seperti umurnya Kakek penulis, yakni ayah dari ibu penulis berumur 106 tahun, berarti penulis masih ada umur 28 tahun lagi, maka Insya Allah lamunan penulis itu bisa penulis saksikan. Insya Allah. Amin. (Marzuki Usman)
Penulis adalah ekonom senior dan pendiri pasar modal.