PERISTIWANYA terjadi ketika penulis menghabiskan masa awal sebagai pemuda ingusan, di dusun Mersam, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, pada tahun 1950-an. Penulis pada waktu itu, di pagi hari menuntut ilmu dunia, di Sekolah Rakyat, sekarang Sekolah Dasar. Dan, pada siang hari, menuntut ilmu Agama Islam di Madrasah Nurul Iman, pada kelas Ibtidaiyah, yang sama tingkatnya dengan Sekolah Rakyat itu.
Di dalam kehidupan sehari-hari, Emak penulis membekali penulis dengan nasihat-nasihat supaya hidup selalu mensyukuri karunia Allah, kepada kita manusia. Dan biasanya, Emak penulis itu mendidik penulis dengan percontohan, atau permisalan dari kehidupan manusia sehari-harinya.
Supaya penulis tidak cepat menyerah dalam mengerjakan sesuatu, misalnya untuk rajin berkebun yang yang mudah untuk dilakukan. Misalnya, untuk berkebun ubi singkong. Sudah pasti penulis harus rajin mencangkul tanah untuk menanam ubi singkong, yaitu dengan tanahnya dicangkul, kemudian batang-batang singkong yang sudah dipotong-potong sehingga panjang rata-ratanya 30 centi meter. Lalu ditanam dan Insya Allah setelah enam bulan, sudah bisa singkongnya dicabut.
Emak penulis menasehati bahwa, kalau bumi digaruk tidak keluar darah, atau beliau mengatakan, kalau bumi dicangkul, dia tidak menangis! Karenanya cangkullah bumi dan tanamlah seperti : ubi kayu, ubi jalar, bayam, kangkung, pepaya, katu dan seterusnya
Kata Emak penulis, “Kalau engkau tidak mau mencangkul, berarti engkau tidak mensyukuri nikmat Allah. Dan bagaimana mungkin, engkau bisa menjadi orang kaya!”
Nasihat Emaklah itulah yang penulis kerjakan setiap hari, selama penulis hidup di bumi Allah SWT ini. Alangkah akan kayanya NKRI, apabila rakyatnya rajin menggaruk bumi, alias mencangkul dan bercocok tanam. Tidak mustahil NKRI akan menjadi negara Terkaya di dunia. Insya Allah. (Marzuki Usman)
Penulis adalah ekonom senior dan pendiri pasar modal.