CHINA bukan musuh apalagi lawan, ujar Sekjen NATO Jens Stoltenberg, seraya menambahkan namun kami memprihatinkan perluasan pengaruh China di berbagai bagian dunia.
Ucapan Stoltenberg itu mengisyaratkan pergeseran perhatian NATO dari terorisme. Sebagaimana diketahui, NATO sebelumnya menganggap Un Soviet sebagai ancaman. Ketika Soviet runtuh, terorisme menjadi ancaman utama. Setelah terorisme melemah, China kini dianggap bukan musuh atau lawan tetapi systemic challenge.
Systemic challenge berarti China menjadi pesaing dalam arti luas yakni pada aspek investasi, perdagangan, teknologi dan sebagainya.
Negara-negara Barat tidak mengungkapkan bahwa persaingan itu sebenarnya mencakup pula masalah ideologi. Bukankah bila China menjadi nomor satu, maka ideologi kapitalis/imperialis bakal goyah.
Bukan Perang Dingin
Stoltenberg menegaskan dengan penyebutan systemic challenge itu, bukan berarti akan berlangsung Perang Dingin baru. China masih merupakan mitra di berbagai bidang.
Bagaimanapun alasan NATO, pergeseran pandangan paling akhir ini sejalan dengan pendapat Amerika Serikat. Presiden Joe Biden menegaskan China kurang tertarik hidup berdampingan tetapi lebih berambisi mendominasi. Tugas utama Amerika Serikat adalah menumpulkan ambisi itu.
Washington akan bekerjasama pada bidang-bidang dimana China juga berkepentingan yakni perubahan iklim. Tetapi AS akan membendung ambisi China di manapun, dengan memperkuat kondisi di dalam negeri dan membangun kerjasama di berbagai bidang dengan negara lain.
Pertanyaannya, apakah kerjasama militer yang intensif dengan Indonesia belakangan ini. Merupakan bagian dari tekad Biden?