Oleh: Marzuki Usman
Pada tahun 1974, ketika itu musim gugur (fall season) di Kampus Duke University, Kota Durham, Negara Bagian Carolina Utara, Amerika Serikat. Pada waktu itu, penulis tengah mengikuti kuliah pembangunan ekonomi (Economice Development) yang disampaikan oleh Prof. DR. Martin Bronfenbrenner. Beliau adalah salah seorang ahli ekonomi pembangunan yang terkenal di Amerika Serikat dan dunia.
Pada waktu itu, beliau menyampaikan tentang studi kasus pengalaman Srilangka membangun negaranya dengan cara berutang kepada China. Ketika itu Srilangka akan membangun lapangan terbang internasional di Colombo. Hal itu dilakukan sebagai upaya menarik wisatawan berkunjung ke Srilangka.
Menurut Prof. Martin Bronfenbrenner, “Negarawan China dengan cerdiknya banyak memberi hibah (AID) kepada Srilangka. China bermurah hati untuk membangun geedung mulai dari kantor, sekolah hingga pasar. Pemerintah China tidak memberi uang tetapi memberikan barang-barang seperti rumah, jembatan dan jalan. Misalnya, untuk membangun pelabuhan laut termasuk semen sebagai material. Dan, yang mengerjakannya adalah perusahaan China. Dan, China menjanjikan kepada Srilangka, “Silakan mencicil utangnya setelah pelabuhan laut itu sudah menghaslikan pendapatan.”
Tetapi, Srilangka tidak bernasib baik. Ternyata, penghasilan dari pelabuhan laut itu tidak bisa untuk mengangsur membayar utang. Maka, China mendikte Srilangka.“Karena Anda tidak bisa membayar utang itu maka selama 100 tahun, kamilah yang memiliki pelabuhan laut ini.” Ternyata berita itu sampai kepada telinga rakyat Srilangka. Rakyat Srilangka meminta presidennya turun secara terpaksa. Karena presidennya telah mewariskan utang China yang besar dan lama sekali waktu pembayaran utang itu. Maka, buntunglah nasib Srilangka.
Prof. DR. Martin Bronfenbrenner menasehatkan kami. Katanya, Anda harus hati-hati untuk menerima bantuan dari negara manapun. Negarawan yang bijak, paham betul “Bahwa tidak ada makan Prei alias gratis. Semua harus dibayar!”
Jakarta, Menyambut Bulan Suci Ramadhan 2023