Oleh: Sjarifuddin Hamid
SINAR HARAPAN - Para pemimpin Eropa terutama Jerman dan Prancis makin akomodatif di sektor investasi dan perdagangan terhadap Rusia setelah Uni Soviet bubar. Salah satu yang fenomenal adalah kesepakatan berpatungan antara Rusia dengan lebih dari sepuluh negara Eropa (Jerman, Belanda, Prancis, Swiss, Finlandia, Swedia, Inggris, Austria, Denmark, Belgia dan beberapa lainnya) membangun pipa Nord Stream 2 pada tahun 2018 yang menyalurkan gas alam dari Rusia. Jauh sebelumnya, akhir 1990-an, juga sudah dibangun pipa Nord Stream 1 untuk tujuan serupa.
Mereka berpatungan sebab biayanya lebih dari US$8 juta. Rusia menyumbang US$ 2,534 juta. Jerman U$1,844 juta, Belanda US$$1,121 juta. Negara-negara Eropa lainnya menyumbang dengan besaran dibawah US$1 juta.
Pipa Nord Stream 2 (NS2) belum beroperasi tetapi Nord Stream 1 (NS1) telah beroperasi sejak November 2011 dengan menyalurkan 59,2miliar kubik meter gas alam per tahun dari Rusia ke Jerman yang kemudian disalurkan ke negara-negara Eropa lainnya. NS1 telah menjadi bagian perekonomian Eropa. Begitupun rencananya dengan NS2.
Kedua jalur pipa menjadi lambang kedekatan kedua blok setelah puluhan tahun bermusuhan lantaran perbedaan ideologi dan sistem politik. Maka ketika tentara AS merusak kedua pipa pada 26 September tahun lalu, perekonomian dan psikologi masyarakat Eropa terganggu.
Amerika Serikat melakukan hal itu dengan harapan Eropa tidak tergantung, tak semakin dekat dengan Rusia. Memang benar Jerman Cs kemudian membeli dari Norwegia, Qatar, AS dan sebagainya tetapi dalam jumlah yang terbatas sebab produsen kepalang terikat kontrak dengan negara lain. Tambahan lagi, gas alam yang dibeli dari India ternyata asalnya dari Rusia.
Peledakan NS1 dan NS2 di laut Baltik itu merupakan lanjutan dari perang Ukraina. AS berupaya menghentikan pendapatan Rusia dari mengekspor gas alam, dengan mengesampingkan resiko kemarahan rakyat dan pemimpin Eropa karena dikhianati kawan seiring.
Cara ini ternyata tidak efektif. Rakyat Jerman misalnya menuntut supaya kedua pipa diperbaiki dan ditegaskan secara resmi siapa yang bertanggung jawab. Sejauh ini hanya jurnalis Seymour Hersh yang menyatakan peledakan dilakukan tentara AS.
Maka tidak heran bila banyak pihak mengharapkan AS keluar dari NATO sebab memberlakukan pakta militer ini seperti miliknya sendiri. Sejumlah negara Eropa juga mengabaikan sanksi dan terus mengimpor dari Rusia. Suara untuk membangun perdamaian di Ukraina-pun semakin keras.
Adapun Prancis dan Jerman yang merupakan dua negara terkuat di Eropa sudah melakukan latihan militer bersama. Kedua negara berencana membentuk pakta militer Eropa.
Posisi Amerika Serikat di Eropa sangat sulit akibat perang Ukraina dan tantangan Rusia yang terus menguat. Pesawat Sukhoi-27 Rusia sengaja membuat drone MQ-9 Reaper AS cemplung di atas Laut Hitam.
Prancis telah pula dikecewakan karena AS-Inggris bersekongkol membatalkan pembelian enam kapal selam nuklir buatan Prancis oleh Australia. Padahal Prancis yang membantu gerakan perlawanan AS melawan Inggris dalam perang kemerdekaan.
Berpaling ke Asia
Ketika posisi AS menyusut di Eropa dan mendapati China berhasil menjadi mediator yang mendekatkan Iran dengan Saudi Arabia. Washington sudah berpindah perhatian dan menghimpun kekuatan yang dipandang sebagai bentuk pembendungan baru terhadap China.
Di bawah payung AUKUS (Australia, Inggris dan Amerika Serikat), Australia membeli tiga kapal selam nuklir kelas Virginia dari AS dengan penyerahan pada 2032. Harga per unit mencapai US$3 miliar.
Selain daripada itu, Australia-Inggris bekerja sama membangun kapal selam baru dengan teknologi dan dukungan AS. Satu kapal selam dibangun di Inggris dan diserahkan pada akhir 1930-an. Satu lagi dibangun di galangan Adelaide dengan target mulai beroperasi pada awal 2040.
Mulai tahun depan, kapal-kapal selam AS dan Inggris secara bergantian akan mengunjungi Perth. Anggota angkatan laut Australia magang di sekalian kapal selam itu agar lebih familiar dengan kapal selam buatan Inggris dan AS. Hal di atas merupakan wujud kesepakatan para pemimpin ketiga negara di Pangkalan Angkatan Laut AS di San Diego, California pada 13 Maret lalu.
Kerjasama itu menyangkut antara lain pembangunan kemampuan kecerdasan buatan, senjata hipersonik dan berbagai produk teknologi canggih lainnya.
PM Inggris Riskhi Sunak menyebut kesepakatan itu sejalan perkembangan di Ukraina, sikap Iran serta Korea Utara yang menggoyahkan kestabilan dan kebangkitan kekuatan militer China dan kehadirannya yang assertive di Asia-Pasifik.
Beijing berulangkali menyebut trio AUKUS itu menerapkan mentalitas Perang Dingin. Padahal menurut para pengamat, pendekatan China pada lingkup regional dan global hanya mencakup soal investasi, diplomasi dan ekonomi, sedangkan AS dan sekutunya bersandarkan kepada pendekatan militer.
Posisi Indonesia
Indonesia tidak terlibat dalam saling klaim dengan China di Laut China Selatan tetapi garis batas negara di laut Natuna Utara kerap berhampiran atau berpotongan dengan nine dash line-nya China. Untunglah para anggota ASEAN sudah memiliki code of conduct yang berprinsip persoalan di kawasan Asia Tenggara diselesaikan oleh bangsa ASEAN sendiri.
Masalahnya, posisi Indonesia yang strategis sangat diinginkan para pihak terkait. Pulau Weh, Miangas, Biak, Pulau Natuna pulau Natuna dapat dijadikan pangkalan maupun tumpuan logistik, sementara Selat Sunda, Selat Makassar, Selat Ombai-Wetar dan Selat Malaka secara tradisional menjadi jalur lintasan kapal selam dan kapal permukaan.
Ironisnya Indonesia yang diapit Samudera India dan Laut China Selatan, memiliki perairan dan pulau yang strategis tidak memiliki alutsista yang memadai untuk menjaga dan mengawasi sekalian aspek itu. Mayoritas alutsista sudah menua dan secara teknologis kurang dapat dibanggakan. Kasus tenggelamnya KRI Nanggala 402 di Selat Bali pada 24 April 2021 sangat menyedihkan
Upaya BJ Habibie kandas karena pihak eksternal tidak ingin Indonesia kuat tetapi juga tak mau lemah., sedangkan sejumlah pihak di dalam negeri lebih suka mengimpor.
Ditinjau dari kemampuan perorangan, tentara Indonesia tidak kalah. Ilmunya pun aneh-aneh. Apakah tentara asing punya ilmu Sirep dan Laduni?
Serdadu Indonesia hanya kalah promosi dan peralatan dengan negara lain. Buktinya pasukan elit AS, Inggris, Australia dan lainnya tak mau mengikuti lomba menyeberangi Selat Sunda.
Namun perang bisa berlangsung di medan yang lain. Dewasa ini kita melihat di sektor perdagangan, teknologi, nilai tukar mata uang, media bahkan siber.
Pengalaman menunjukkan keterlibatan negara-negara besar biasanya dimulai dengan penggunaan kekuatan proxy dalam negeri yang kelak akan mereka dukung. Lagan Indonesia adalah lahan yang subur, dari waktu ke waktu selalu diganggu oleh isu terorisme, intoleran, radikal. Tak kurang dari itu adalah korupsi dari generasi ke generasi yang menimbulkan ketimpangan pendapatan dan tak bisa memiliki alutsista canggih. Juga pemimpin yang seperti buih.
Indonesia menerapkan politik luar negeri bebas dan aktif namun tak urung kena sanksi. Maka dari itu Indonesia harus kuat. Mulai dari pemimpinnya yang berpendirian kokoh. Tanggap tangguh, tanggon trengginas. Bagaimana dengan rakyat? Pasti ikut saja!***