Oleh: Marzuki Usman
Peristiwanya terjadi pada tahun 1950-an. Pada periode itu penulis tengah menuntut ilmu di Sekolah Rakyat (SR) - sekarang Sekolah Dasar. Pada siang hari, dari waktu Dzuhur sampai waktu Ashar menuntut Ilmu Agama Islam pada Madrasah Nurul Islam di Kampung Dusun Mersam. Yakni desa penulis menyelesaikan Sekolah Dasar lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Jambi.
Pada masa itu, ketika Bulan Ramadhan, emak penulis selalu memasak, makanan lauk-pauk yang serba masakan ikan dari Sungai Batanghari, Jambi. Pada waktu berbuka, emak penulis selalu menyediakan kue-kue untuk berbuka puasa dan menyediakan lauk-pauk mulai dari gulai ikan, panggang ikan dan sayur-sayuran yang dipetik dari hutan seperti lidah patung, genjer dan pakis-pakisan. Dan, untuk pengganti nasi, biasanya, dari hutan sudah tersedia banyak sekali umbi gadung yang diolah sedemikian rupa sehingga bisa menggantikan beras.
Emak penulis pada waktu berbuka puasa selalu sudah menyediakan makanan yang serba berasal dari perkebunan sayur-sayuran rumah tangga dan yang berasal juga dari hutan dan sungai setempat seperti ikan sungai dan ikan rawa-rawa yakni ikan patin, ikan baung dan ikan tapah.
Untuk penyajian, lauk-pauk pada waktu makan sahur, biasanya emak penulis menyajikan masakan mulai dari berengkes tempoyak (asam duren), ikan patin, atau ikan baung serta ikan tapah. Pada berengkes itu, ikan-ikannya dibungkus dengan tempoyak. Lalu kemudian, semua bumbu-bumbu dan ikan-ikan itu, dan tempoyak dibungkus dengan kantong daun pisang. Oleh emak penulis, kantong daun pisang itu dibenamkan ke dalam abu dapur yang panas itu. Maksudnya agar ikan-ikan itu dimasak secara pelan-pelan. Kantong itu dibenamkan setelah Shalat Tarawih sekitar jam 9 malam.
Dan, ketika mau makan Sahur maka kantong berengkes itu dibuka dan dihidangkan di atas piring makan. Uwah, rasa ikannya yang dimasak selama secara lambat-lambat itu yakni setelah enam (6) jam adalah sangat enak sekali.
Penulis, sekarang tinggal menangis saja lagi karena makanan seperti itu sudah merupakan barang langka sekali. Karena satu dan lain, karena orang kampung penulis, tidak lagi memasak dengan tungku masak. Mereka sudah hijrah memasak menggunakan kompor listrik. Padahal kalau memasak dengan tungku lagi, jika dihidupkan kembali maka NKRI kita akan menawarkan kepada konsumen di seluruh dunia untuk menyantap, “berengkes/steak sapi yang dimasak secara perlahan dengan panas dari abu dapur”.
Penulis yakin Insya Allah, konsumen sedunia akan berpesan kepada teman-temannya, “Visit Indonesia, and ple ase do enjoy, Berengkes/Steak Sapi, before you die!”
Insya Allah, manusia sedunia akan selalu merindukan untuk berkunjung ke Indonesia untuk menikmati berengkes ikan patin, berengkes ikan lain-lain seperti ikan lampam, ikan baung dan ikan kakap serta menikmati berengkes – steak: sapi, kijang, rusa dan kambing.
Jakarta, Menyambut Bulan Ramadhan 1444 H