SINAR HARAPAN--Untuk kesekian kali fasilitas penting milik Pertamina terbakar. Kali ini depo penyimpanan bahan bakar minyak (BBM) di Plumpang, Jakarta, terbakar hebat. Bukan hanya Pertamina yang mengalami kerugian, melainkan juga warga yang tinggal di sekitarnya. Tercatat ratusan rumah terbakar hangus, belasan orang meninggal dan puluhan warga masih dirawat di rumah sakit.
Sampai hari ini Polri masih melakukan penelusuran dan investasigasi mengenai penyebab kebakaran tersebut. Namun apapun penyebabnya, kebakaran serupa seringkali terjadi dan sangat merugikan Pertamina. Kebakaran di depo Plumpang ini bukan yang pertama melainkan sudah pernah terjadi sebelumnya, namun kali ini dampaknya lebih besar.
Kebakaran serupa pernah melanda tangki bahan bakar minyak (BBM) Balongan, Indramayu, Jabar beberapa waktu lalu. Kebakaran juga terjadi di kilang BBM di Cilacap, Balikpapan, Riau dan beberapa fasilitas Pertamina lainnya. Lantas, mengapa persoalan kebakaran di area kilang minyak Pertamina terus berulang?
Ahli energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mempertanyakan standar pengamanan di area kilang minyak Pertamina. Menurutnya, Pertamina seharusnya menerapkan standar internasional dengan zero accident. "Ini mengindikasikan bahwa Pertamina tidak menerapkan standar internasional untuk pengamanan aset sepenting kilang tadi, sehingga terjadi beberapa kebakaran," kata Fahmi, dikutip Kompas.com.
Jika melihat perusahaan minyak dunia, insiden kebakaran sangat jarang terjadi. Biasanya, kebakaran hanya terjadi karena unsur perang. Peristiwa kebakaran yang berulang ini membuktikan Pertamina harus memperbaiki sistem keamanan terutama dalam mencegah dan menanggulangi bencana di area kilang dan penyimpanan minyak. Kejadian yang terus berulang menunjukkan lemahnya disiplin dan system pengawasan internal di perusahaan pemerintah itu.
"Kalau kejadian yang berulang tadi, itu menunjukkan bahwa memang Pertamina itu abai terhadap sistem keamanan untuk aset strategis dan beresiko tinggi tadi sehingga menyebabkan kebakaran," ujar Fahmy.
Menurut dia, mengingat depo ini merupakan aset vital maka seharusnya Pertamina menggunakan sistem keamanan yang berstandar internasional, yakni dengan menerapkan sistem keamanan yang berlapis. "(Sistem keamanan internasional) misalnya terjadi percikkan api, maka ada upaya pencegahan. Kalau di sini gagal maka pada tingkat berikutnya akan terjadi pencegahan sehingga tingkat kebakaran tidak pernah meluas," jelasnya.
Pertamina juga tidak memperhatikan sekitar lokasi Depo Pertamina Plumpang sehingga banyak didirikan pemukiman padat penduduk. Seharusnya Pertamina memberikan jarak antara lokasi depo dengan pemukiman penduduk setidaknya 5 kilometer sebagaimana yang diterapkan Pertamina pada kilang-kilang minyak miliknya. "Jadi pada kilang minyak itu juga terjadi beberapa kali kebakaran di Cilacap, di Balongan, atau tempat yang lain tetapi tidak pernah menimbulkan korban dari warga. Kenapa? karena jaraknya jauh, zoning tadi," sebut dia.
Nah, kita selalu terlambat dalam persoalan seperti ini. Sekarang kita rebut apakah harus memindnahkan depo Plumpang ke tempat lain atau penduduk sekitar yang harus direlokasi. Untuk soal seperti ini pun pemerintah belum satu suara akibat salah urus pada masa-masa sebelumnya.
Belakangan ini bahkan beredar adanya kesepakatan "Kontrak Politik" antara warga dengan Pemda DKI pada tahun 2012. Dalam perjanjian yang ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo tersebut dinyatakan warga yang sudah menetap selama 20 tahun akan dilegalkan. Daerahnya tidak akan digusur namun ditata. Adanya "Kontrak Politik" tersebut tampaknya menjadi alasan warga sekitar Depo Plumpang tidak bersedia dipindahkan.
Tidak jelas apakah berkaitan dengan janji politik Jokowi tersebut, kabar terakhir menyebutkan bahwa Pertamina siap memindahkan Terminal BBM (TBBM) Plumpang di Koja, Jakarta Utara ke tanah milik Pelindo. "Kami sudah rapat bahwa TBBM (Plumpang) akan kita pindahkan ke tanah milik Pelindo," ujar Menteri BUMN Erick Thohir, Senin.
Menurut dia, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Pelindo di mana lahannya akan siap dibangun akhir 2024. "Pembangunannya membutuhkan waktu 2 - 2,5 tahun, artinya masih ada waktu sekitar 3,5 tahun," katanya.
Kita menggarisbawahi pernyataan ahli energi UGM tadi, bahwa masalah pokoknya adalah standar keamanan fasilitas strategis milik Pertamina yang rendah. Pengawasan di Pertamina dan Kementrian ESDM juga rendah. Buktinya, bukan hanya depo Plumpang yang beberapa kali terbakar, melainkan juga fasilitas strategis di berbagai tempat.
Kalaupun depo Plumpang direlokasi ke tempat lain atau warga yang dipindahkan, sepanjang pengamanannya rendah, tidak berstandar internasional, maka kebakaran serupa akan terjadi lagi di kemudian hari. Maka, kita meminta pemerintah dan Pertamina bekerja keras memperbaiki berbagai prosedur pengamanan fasilitas produksi dan distribusinya agar kejadian serupa bisa ditekan serendah mungkin. (Mas Kumambang)
Artikel Terkait
Wapres Ma'ruf Amin Minta Depo Pertamina Direlokasi ke Area Pelabuhan Pelindo
Kapolri pastikan tim investigasi dalami penyebab kebakaran di Plumpang
Presiden Minta Agar Warga di Sekitar Depo Plumpang Direlokasi
UGM: Pemindahan Depo Pertamina Plumpang Opsi Paling Tepat
Erick Thohir: Pertamina Siap Pindahkan TBBM Plumpang ke Tanah Pelindo