Oleh: Sjarifuddin Hamid
SINAR HARAPAN - Secara sederhana sering dikatakan bahwa Rusia dan China berani melawan Amerika Serikat karena memiliki senjata nuklir. Makanya setiap sanksi dibalas dengan sanksi. Padahal dalam era nuklir ini yang terpenting adalah apakah yang terjadi sebelum perang nuklir? Bukan setelah senjata nuklir diluncurkan. Sebab itu berarti kehancuran total.
Pada periode sebelum perang nuklir ini telah terjadi perang dagang. Amerika Serikat menjatuhkan terhadap Rusia dan China. Kedua negara kemudian membalas dengan juga menjatuhkan sanksi terhadap Amerika Serikat. Tulisan ini akan memusatkan perhatian pada aksi berbalas sanksi yang dilakukan AS terhadap China dan sebaliknya.
Awal Mula
Presiden Donald Trump yang memulai menjatuhkan sanksi pada 2018. Melarang badan-badan pemerintah AS menggunakan sistem, perlengkapan dan layanan apapun dari Huawei, perusahaan teknologi komunikasi terkemuka. Hal itu dilakukan karena dicurigai melakukan kegiatan mata-mata untuk pemerintah China.
Sanksi berikutnya. Menyasar pelanggaran HAM di Xinjiang dan pembungkaman demokrasi dan kebebasan menyatakan pendapat di Hong Kong. Untuk itu, banyak pejabat China dan Hong Kong yang dikenai sanksi.
Menjelang akhir masa jabatannya, Donald Trump melarang perusahaan AS berinvestasi atau membeli produk perusahaan China yang didentifikasi Pentagon sebagai perusahaan militer China Komunis.
Penggantinya, Presiden Joe Biden tidak meredakan malah melanjutkan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan China yang memasok peralatan ke angkatan bersenjata Rusia. Lalu melanjutkan tekanan dengan membatasi penjualan semi konduktor ke China dan berencana memutuskan semua hubungan dengan Huawei.
Perusahaan China yang terkena sanksi antara lain Guangzhou Tian-Hai-Xiang Aviation Technology, Dongguan Lingkong Remote Sensing Technology Company, Company Beijing Nanjiang Aerospace Technology Company, China Electronics Technology Group Corporation 48th Research Institute, Eagles Men Aviation Science and Technology Group Company, Shanxi Eagles Men Aviation Science and Technology Group Company serta China Electronics Technology Group Corporation 48th Research Institute.
Peran Wang Huning
Di tengah sengit sanksi AS, pemerintah China menerbitkan Undang-Undang yang membalas sanksi yang dijatuhkan pihak lain. Berdasarkan Undang-Undang ini Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri dapat menjatuhkan sanksi terhadap entitas, pejabat atau pribadi dari negara lain.
Pemerintah China baru-baru ini menjatuhkan sanksi dengan melarang Lockheed Martin Corp dan Raytheon Missiles & Defense berdagang dengan perusahaan-perusahaan China. Para pejabatnya dilarang masuk. Sedangkan, yang sudah berada di China, izin tinggal dan izin kerjanya tidak diperpanjang. Gara-garanya lantaran kedua perusahaan menjual rudal dan sistem pendukung senilai US$100 juta ke Taiwan.
Pemerintah juga juga mendenda Lockheed Martin Corp dan Raytheon Missiles & Defense sebesar US$200 juta yang harus dibayar dalam 15 hari. Kalau pembayaran denda melewati batas tempo maka denda ditingkatkan menjadi dua kali lipat. Kementerian Perdagangan China menggolongkan kedua perusahaan sebagai Entitas yang Tidak Bisa Dipercaya atau Tidak Bertanggung Jawab.
Sekalipun muncul belakangan sebab pemerintah China sebelumnya telah melawan berbagai sanksi Amerika Serikat (AS). Undang-undang ini semakin menegaskan bahwa China akan membalas setiap sanksi yang dijatuhkan negara lain dan menggolongkannya sebagai tindakan mencampuri urusan dalam negeri.
Pertanyaannya siapakah yang memainkan peran dalam menegaskan sikap keras terhadap negara lain itu?
Telunjuk selalu tertuju kepada Presiden Xi Jinping padahal Xi bertindak berdasarkan konsensus tujuh anggota Komite Tetap Politbiro Partai. Komite ini secara teratur membahas kebijakan dan membuat keputusan terhadap masalah-masalah besar. Komite terdiri dari Xi Jinping, PM Li Qiang, Zhao Leji, Wang Huning, Cai Qi, Li Xi dan Ding Xuexiang.
Tidak mudah untuk mengetahui siapa di antara anggota politburo itu yang paling memahami kondisi Amerika Serikat. Namun belakangan sering disebut nama Wang Huning (57) karena dia pernah mengunjungi Amerika Serikat sekitar tahun 1989, selama enam bulan dalam status sebagai ilmuwan di Universitas Fudan, Shanghai. Wang pernah menjadi Dekan Fakultas Hukum dan dikenal sebagai pengajar politik internasional.
Wang memanfaatkan lawatan secara maksimal. Bertemu dengan kalangan intelektual di lebih dari 20 perguruan tinggi dan mengunjungi puluhan kota. Bertemu dengan pejabat dan pengusaha. Semuanya itu membuat Wang memperoleh pemahaman lengkap dan mendalam tentang AS. Dia menemukan kontradiksi antara sistim sosial-ekonomi dengan sistem politik serta adanya kritik terhadap kapitalisme dan demokrasi.
Sepulang dari kunjungan itu, Wang menulis buku dengan judul "America against America" yang diterbutkan tahun 1991. Buku ini mengungkap resep keberhasilan Amerika Serikat dan mengapa kemudian menurun. Konon buku ini dijadikan pedoman dalam menghadapi Washington.
Wang juga diyakni sebagai arsitek Tiga Perwakilan yang dicanangkan Jiang Zemin. Konsep Pembangunan Ilmiah dari Presiden Hu Jintao serta Impian China dan Pemikiran Xi Jinping yang dilontarkan Presiden Xi Jinping.
Lantaran berasal dari pemikiran satu orang, disetujui anggota politburo lainnya dan eksekusinya dalam atmosfir otoriter maka terlihat konsistensi kebijaksanaan pemerintah China dari satu pemimpin ke pemimpin yang lain.
Selain konsistensi, Xi Jinping, Wang dan lainnya telah mempunyai bekal yang diajarkan ahli strategi militer Sun Tzu yakni kenali musuhmu, kenali dirimu. Seribu pertempuran, seribu kemenangan.
Tidak heran bila China mengungguli Amerika Serikat!***