Sejarah Klitih di Yogyakarta: Ternyata Tak Berhubungan dengan Dua Gank Legendaris Jogja QZRUH dan JOXZIN

- Selasa, 5 April 2022 | 13:14 WIB
Ilustrasi - Kata 'klitih' yang beredar saat ini bergeser dari makna sebenarnya yang merupakan kegiatan positif. (Unsplash)
Ilustrasi - Kata 'klitih' yang beredar saat ini bergeser dari makna sebenarnya yang merupakan kegiatan positif. (Unsplash)

SINAR HARAPAN - SEORANG pelajar di DI Yogyakarta tewas setelah terkena sabetan benda tajam yang dilakukan pelaku kejahatan jalanan di Jalan Gedongkuning, Yogyakarta, Minggu, 3 April 2022 dini hari.

Korban dilarikan ke RSUP Hardjolukito oleh petugas yang berpatroli. Namun, nahas nyawanya tak tertolong. Polda DIY hingga kini masih mengejar dan mengusut identitas para pelaku menggunakan keterangan para saksi.

"Kami masih melakukan pendalaman. Olah TKP kami lakukan berkali-kali dan mencari saksi lagi," kata Dirreskrimum Polda DIY Kombes Pol. Ade Ary Syam Indradi.

Baca Juga: Yogyakarta Akan Kengurangi Iklan Rokok di Luar Ruang

Aksi yang biasa disebut 'klitih' atau 'nglitih' ini bukanlah hal baru. Namun jika dilihat dari arti kata asalnya, klitih sebenarnya sangat jauh maknanya dari aksi kekerasan maupun tawuran
 

Fenomena Klitih

Klitih berasal dari bahasa Jawa yang berarti suatu aktivitas mencari angin di luar rumah atau keluyuran, seperti dikutip dari Tirto

Ada juga yang menyebut klitih merupakan penyebutan terhadap Pasar Klitikan Yogyakarta di mana artinya adalah melakukan aktivitas yang tidak jelas dan bersifat santai sambil mencari barang bekas atau 'klitikan'.

Baca Juga: Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta Wahana Edukasi Generasi

Menurut sosiolog kriminal Universitas Gadjah Mada (UGM) Suprapto, klitih mempunyai makna yang positif. Klitih menggambarkan kegiatan yang dilakukan seseorang untuk mengisi waktu luang.

Sayangnya, makna itu kemudian berubah menjadi negatif. Terlebih ketika kegiatan mengisi waktu luang itu diisi dengan tindak kejahatan di jalan atau tawuran. Termasuk menyerang orang lain secara acak tanpa motif yang jelas.

Dilansir dari Kumparan, budaya kekerasan yang dilakukan oleh pelajar di Yogyakarta sebenarnya bukan hal baru. Hal ini sudah ada sejak era 1980-an dan 1990-an.
 
 
Di masa itu, kekerasan yang dilakukan pelajar dilakukan oleh dua geng besar legendaris di Yogyakarta yaitu QZRUH dan JOXZIN. QZRUH merupakan singkatan dari Q-ta Zuka Ribut Untuk Tawuran.
 
Geng ini berkuasa di wilayah Yogyakarta bagian utara. Sementara JOXZIN merupakan, Joxo Zinthing atau Pojox Benzin atau pojokan pom bensin alun-alun/Jogja Zindikat. Geng ini disebut 'menguasai' Malioboro hingga Yogyakarta bagian utara.
 
Seiring berjalannya waktu, klitih mengalami pergeseran dan penurunan makna. Saat ini klitih identik dengan aksi kekerasan yang dilakukan pelajar SMP dan SMA.
 
 
Tidak ada yang tahu kapan pertama kali istilah ini muncul dan mengalami pergeseran makna. Namun diduga, istilah ini muncul untuk mengganti kata tawuran remaja, setelah peristiwa pembacokan yang marak terjadi sepanjang 2011 sampai 2012.
 
Jadi perhatian Keraton Yogyakarta

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X berharap orang tua membangun kepedulian untuk mencegah kasus kejahatan jalanan yang marak di Yogyakarta.

"Memang kami tidak bisa kalau masyarakatnya sendiri, orang tuanya sendiri tidak bisa mengendalikan anaknya. Kami bisanya 'kan hanya punya harapan," kata Sultan HB X di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Senin, 4 April 2022.

Baca Juga: Menkes Ganti Dirut RSUP Dr Sardjito DI Yogyakarta

Fenomena klitih ini menurut Sultan, tak akan mereda tanpa kesadaran dari para orang tua. Keraton akan sulit menerapkan aturan yang bersifat memaksa untuk mengatasi kejahatan atau kerap disebut 'klitih' yang rata-rata dilakukan oleh remaja.

"Kalau kami melakukan sesuatu yang sifatnya pemaksaan 'kan juga nanti melanggar hukum," kata Sultan HB X.

Berbagai upaya pembinaan, menurut Sultan, telah dilakukan untuk tangani para pelaku klitih, khususnya para anak di bawah umur. Namun, selalu menghadapi tantangan di lapangan.

Baca Juga: Klaster Baru COVID-19 Ditemukan di Gunungkidul Yogyakarta

Pada tahun 2021, Pemda DIY telah menyusun program pembinaan anak bawah umur yang berhadapan dengan hukum dan berstatus diversi, khususnya terkait dengan kasus kejahatan jalanan.

Peristiwa kejahatan jalanan di Yogyakarta pada Minggu, 3 April 2022 dini hari yang telah menewaskan seorang pelajar harus diproses hukum sekalipun pelakunya di bawah umur.

"Kalau itu menurut saya pelanggaran hukum, bukan klitih. Itu kenakalan anak saja tetapi sudah terlalu jauh," ujarnya.***

Editor: Rosi Maria

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X