JAKARTA - BPOM dengan sejumlah pihak mewacanakan pelabelan untuk mencantumkan keterangan lolos batas uji BPA di kemasan pangan plastik yang mengandung bahan BPA. Mengetahui hal itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pun langsung bersuara untuk menanggapi wacana tersebut.
“Jadi, saya sampaikan kepada BPOM bahwa berdasarkan hasil FGD yang kami lakukan bersama para pakar dan dokter ahli itu menyatakan penggunaan BPA masih cukup aman. Kalau dilihat standar migrasi di negara-negara lain juga masih banyak yang sama atau bahkan di atas Indonesia seperti Jepang 2,5 bpj, Korsel 0,6 bpj, dan China 0,6 bpj,” kata Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo, saat dikonfirmas, Kamis (7/10/2021).
Menurutnya, BPOM perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum membuat wacana pelabelan itu. Misalnya, negara mana yang sudah meregulasi terkait BPA ini, adakah kasus yang menonjol yang terjadi di Indonesia ataupun di dunia terkait dengan kemasan yang mengandung BPA ini, serta adakah bukti empiris yang didukung scientific evidence, dan apakah sudah begitu urgen kebijakan ini dilakukan.
Dia juga menyoroti dampak yang akan ditimbulkan kebijakan itu nantinya terhadap investasi kemasan galon guna ulang yang existing yang jumlahnya tidak sedikit dan terhadap psikologis konsumen.
“Itu pertimbangan yang perlu dilakukan sebelum BPOM mewacanakan kebijakan terkait kemasan pangan yang mengandung BPA itu. Dalam situasi pandemi, di mana ekonomi sedang terjadi kontraksi secara mendalam, patutkah kita menambah masalah baru yang tidak benar-benar urgen?” tukasnya.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tengah menyusun kebijakan terkait ancaman bahaya senyawa Bisphenol A (BPA) pada kemasan makanan dan minuman, khususnya air minum dalam kemasan (AMDK).
Sebagai informasi, Bisphenol A (BPA) adalah bahan kimia yang umum digunakan sebagai bahan baku dalam pembentukan plastik polikarbonat, pemlastis dalam produksi resin epoksi, serta aditif untuk menghilangkan kejenuhan asam hidroklorat selama produksi plastik polivinil klorida (PVC). Plastik yang mengandung BPA jamak ditemukan dalam wadah makanan, botol minum atau botol susu bayi. lensa kacamata, hingga DVD.
Kendati banyak digunakan untuk berbagai produk, penggunaan plastik polikarbonat untuk wadah makanan, terutama untuk botol susu bayi dan botol air minum saat ini banyak dihindari karena alasan kesehatan.
“Saat ini BPOM sedang menyusun policy brief tentang pengkajian resiko BPA dalam air minum dalam kemasan (AMDK) yang disusun sesuai dengan standar yang dimulai dari pembahasan review persyaratan produk dalam label AMDK,” kata Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Rita Endang dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (6/10/2021).
Seperti diketahui, pada pertengahan September lalu, BPOM mewacanakan akan memberikan pelabelan semua kemasan makanan dan minuman, termasuk galon. Produsen diminta mencantumkan bahwa produknya bebas BPA. Wacana ini disambut baik sejumlah pihak seperti Komisi Perlindungan Anak tetapi ditentang keras oleh industri karena dinilai memberatkan.
Rita mengatakan, pihaknya sudah melakukan review persyaratan produk dan label AMDK sejak Maret 2021, kemudian menyusun kebijakan sinkronisasi regulasi dan standar. Nantinya akan tersusun policy brief pengkajian risiko BPA dalam AMDK dan penilaian kembali batas maksimal migrasi BPA pada kemasan galon plastik.
Pengkajian dilakukan dengan menguji kandungan BPA dalam AMDK dan menghitung paparannya untuk mengetahui apakah kandungan tersebut masih dalam batas aman atau tidak bagi konsumen, terutama yang termasuk dalam kelompok rentan.
Selain itu, pengujian terhadap kemasan polikarbonat juga dilakukan untuk menetapkan apakah peraturan batas maksimal migrasi BPA pada kemasan galon polikarbonat sebesar 0,6 bpj sesuai dengan Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Kemasan Pangan.
“Kami membuat kajian paparan yang artinya seberapa banyak kandungan BPA di dalam cairan tersebut atau yang terdapat pada air minum dalam kemasan,” ujarnya. (E-4)