SINAR HARAPAN - PEMERINTAH Indonesia menjawab isu hukuman mati yang diangkat oleh beberapa negara khususnya Eropa, dalam Universal Periodic Review (UPR) ke-4 di Dewan HAM PBB atau Perserikatan Bangsa-Bangsa.
“Saya sampaikan bahwa hukuman mati adalah hukum positif kita saat ini,” kata Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna Laoly ketika menyampaikan keterangan pers secara daring usai persidangan UPR di Jenewa, Swiss, pada Rabu.
Dia menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia sedang berupaya mencari win-win solution atau jalan tengah tentang hukuman mati, melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) baru yang masih disusun.
Baca Juga: PBB Serukan Nol Toleransi untuk Terorisme, Tekankan Perlunya Langkah Melawan Al Qaida dan ISIS
Dalam RKUHP yang diharapkan dapat disahkan tahun ini, kata dia, hukuman mati nantinya akan menjadi hukuman alternatif yang bisa diubah menjadi hukuman seumur hidup.
“Jadi nantinya hukuman mati dapat dievaluasi setelah 10 tahun jika yang bersangkutan mendapat rekomendasi dari berbagai pihak, termasuk selama menjalankan hukuman dia berbuat baik.. maka bisa diubah hukumannya menjadi life sentence atau 20 tahun,” kata Yasonna.
Namun, dia tidak menampik bahwa perbedaan pendapat mengenai hukuman mati masih sangat tajam, termasuk di DPR RI dan di antara masyarakat Indonesia sendiri.
Baca Juga: Dewan Keamanan PBB Gagal Sepakati Penyelesaian Tindakan Hukuman untuk Korut
Yasonna pun menegaskan bahwa terkait hukuman mati perlu diperhatikan juga hak-hak korban, sehingga cara memandang jenis hukuman ini menjadi lebih seimbang.
“Kita harapkan dengan jalan tengah ini maka pendekatan kita tentang hukuman mati akan berterima di masyarakat internasional,” tutur dia.
Selain mengenai hukuman mati, dalam UPR ke-4 yang dihadiri 108 anggota PBB kali ini Indonesia juga mencatat sejumlah rekomendasi.
Baca Juga: Pemerintah Rusia Tak Menjamin Warga AS yang Ditangkap Tidak Hadapi Hukuman Mati
Di antaranya mengenai isu ratifikasi opsional protokol Konvensi Anti Penyiksaan, revisi KUHP, isu kebebasan beragama dan berekspresi, isu perlindungan terhadap hak wanita, anak, dan disabilitas, serta isu Papua.
Atas pertanyaan dan rekomendasi tersebut, pemerintah Indonesia akan mempertimbangkan rekomendasi yang akan diterima untuk ditindaklanjuti dan menjadi bagian penting dari kebijakan HAM nasional selama lima tahun berikutnya.
UPR adalah forum dialog dan kerja sama untuk meningkatkan kapasitas negara-negara anggota PBB dalam melaksanakan komitmen kemajuan dan perlindungan HAM, sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB 60/251 pada 2006.
Baca Juga: Gegara Kasus Penyuapan, Eks Pentolan Partai Komunis China Divonis Hukuman Mati, Semua Hartanya Disita Negara
Pemerintah Indonesia menempatkan Sidang UPR sebagai forum penting bagi upaya nasional untuk memenuhi mandat konstitusi dalam pemajuan dan perlindungan HAM.
Dalam hal ini, sejak 2021 proses penyusunan laporan nasional untuk UPR telah dilakukan secara serius dan inklusif, melalui diskusi dan jaring masukan melibatkan kementerian dan lembaga pemerintah, pemerintah daerah, lembaga HAM nasional, akademisi, serta organisasi non pemerintah dan masyarakat sipil.***
Artikel Terkait
Pemerintah RI Angkat Sejumlah Isu Krusial dalam Sidang Majelis PBB 2022, Salah Satunya Isu Multilateralisme
Putin Bahas Kerja Sama PBB dan G20 dengan PM India dalam Pertemuan di SCO
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres Mengonfirmasi Akan Hadir dalam KTT G20 di Bali
Termasuk Penyelesaian Sengketa dengan Damai, Ini 6 Isu yang Akan Diangkat Indonesia di Sidang Majelis Umum PBB
Kemenlu RI Nyatakan Referendum di Ukraina Langgar Piagam PBB dan Hukum Internasional, Inggris Menyambut Baik
Indonesia Tolak Usulan AS untuk Menggelar Debat Dewan HAM PBB Soal Isu Uighur di Xinjiang, Ini Alasannya
Majelis Umum PBB Menentang Referendum di Empat Wilayah Ukraina, Zelensky Ucapkan Terima Kasih
Iran Dilarang Kirim Drone ke Rusia! AS Sebut Pasokan UAV dari Iran ke Rusia Akan Melanggar Resolusi DK PBB