SINAR HARAPAN - AMERIKA Serikat pada Kamis (1 Juni 2023) mengumumkan gelombang tahap awal sanksi terhadap para pelaku perang di Sudan setelah gagalnya proses pembicaraan antara militer Sudan dan lawannya yaitu pihak pasukan paramiliter.
Sanksi tersebut diumumkan kurang dari sebulan setelah Presiden Joe Biden mengumumkan perluasan otoritas yang membuka pintu bagi AS untuk menjatuhkan sanksi pada entitas di Sudan.
Sanksi tersebut juga menjadi peringatan bagi pihak yang bertikai di sana.
Baca Juga: 30 Bayi Baru Lahir Meninggal Dunia dengan Tragis di Sudan Sejak Pertempuran Militer Berlangsung
"Hari ini, kami menindaklanjuti dengan memberlakukan sanksi ekonomi, pembatasan visa terhadap para aktor yang membuat kekerasan terus terjadi, dan merilis Rekomendasi Usaha yang diperbarui bagi Sudan," kata Penasehat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan dalam sebuah pernyataan.
"Perang yang terjadi di Sudan antara tentara Sudan dengan Pasukan Dukungan Cepat adalah sebuah tragedi yang telah mengorbankan banyak nyawa, itu harus berakhir," tambah Sullivan.
Hukuman yang dikenakan termasuk sanksi ekonomi dan visa, dan sedang diberlakukan sebagai tanggapan atas pelanggaran kewajiban yang dilakukan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) selama negosiasi yang ditengahi AS dan Saudi di Jeddah, Arab Saudi.
Baca Juga: PBB Sebut Pihak-pihak yang Bertikai di Sudan Bertempur Tanpa Menghormati Hukum dan Norma Perang
Gencatan senjata selama tujuh hari yang dimediasi Arab Saudi dan AS antara kedua pihak berakhir pada Senin.
Kedua pihak bertikai sepakat memperpanjang perjanjian hingga lima hari lagi, namun pembicaraan damai gagal dilanjutkan pada Rabu ketika SAF mengumumkan pengunduran diri.
SAF mengatakan RSF gagal mengimplementasikan "setiap ketentuan perjanjian dan terus-menerus melakukan pelanggaran terhadap gencatan senjata."
Baca Juga: Warga Sipil Tewas dalam Pertikaian Militer di Sudan Mencapai 822 Orang, Sedikitnya 3.200 Terluka
Keputusan itu datang ketika pertempuran sengit meletus antara militer dan tentara RSF di ibukota Khartoum dan ibukota negara bagian Kordofan Utara, El-Obeid.
Departemen Keuangan secara terpisah memberi sanksi kepada empat perusahaan Sudan diduga membantu SAF dan RSF.
Di antaranya termasuk Sistem Industri Pertahanan (DIS), perusahaan militer Sudan terbesar dengan perkiraan pendapatan mencapai 2 miliar dolar AS (sekitar Rp29,9 triliun), dan Sudan Master Technology, sebuah perusahaan senjata dengan saham di beberapa anak perusahaan DIS.
Baca Juga: Lebih dari 700.000 Orang Terlantar Akibat Pertempuran di Sudan, Korban Tewas Lampaui 600 Orang
Selain itu, ada Al Junaidi Multi Activities, sebuah perusahaan induk yang terkait dengan Komandan RSF Mohamed Hamdan Dagalo dan saudaranya, Wakil Komandan RSF Abdul Rahim Dagalo; dan Tradive General Trading, sebuah perusahaan yang dikendalikan Mayor RSF Algoney Hamdan Dagalo, juga masuk daftar sanksi.
"Melalui sanksi, kami memotong keuangan utama yang mengalir baik untuk Pasukan Dukungan Cepat ataupun Angkatan Bersenjata Sudan, merampas sumber daya yang dibutuhkan untuk membayar tentara, mempersenjatai kembali, memasok kembali, dan berperang di Sudan," kata Menteri Keuangan AS Janet Yellen dalam sebuah pernyataan.
Departemen Negara Bagian, Perbendaharaan, Perdagangan, dan Perburuhan, serta Badan Pembangunan Internasional AS mengeluarkan rekomendasi usaha bersama yang memperingatkan perusahaan-perusahaan AS tentang meningkatnya risiko menjalankan bisnis di Sudan. Rekomendasi itu memperingatkan secara eksplisit bahaya perdagangan di sektor pertambangan, dan bisnis dengan RSF dan SAF.***