SINAR HARAPAN - SEKRETARIS Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mendesak tentara Sudan dan pasukan paramiliter untuk segera menghentikan pertempuran dan menyerukan gencatan senjata.
Seruan itu disampaikan setelah pertemuan yang diadakan oleh Uni Afrika untuk membahas situasi dramatis di Sudan, di mana sedikitnya 270 korban tewas dan 2.600 orang cedera dalam bentrokan yang terjadi sejak 15 April 2023.
"Ada konsensus kuat untuk mengutuk pertempuran yang sedang berlangsung di Sudan dan menyerukan penghentian permusuhan," kata Guterres kepada wartawan, Kamis 20 April 2023.
Baca Juga: PBB Nyatakan Lebih dari 500 Anak Tewas di Ukraina Sejak Rusia Lancarkan Agresi Militer
Sebagai prioritas utama, dia mengimbau agar gencatan senjata berlangsung setidaknya selama tiga hari--yang bersamaan dengan Hari Raya Idul Fitri--serta untuk memungkinkan warga sipil yang terjebak di zona konflik agar bisa menyelamatkan diri, mencari perawatan medis, dan mendapatkan makanan serta pasokan penting lainnya.
"Semua pihak yang berkonflik adalah Muslim. Kita saat ini menyambut momentum sangat penting bagi umat Muslim. Saya pikir ini adalah saat yang tepat untuk mengadakan gencatan senjata," tutur Guterres.
Dia juga menyatakan keprihatinan mendalam atas banyaknya warga sipil yang menjadi korban, situasi kemanusiaan yang buruk, dan prospek eskalasi lebih lanjut yang mengerikan.
Baca Juga: Sedikitnya 50 Orang Tewas Akibat Serangan Udara Angkatan Bersenjata di Myanmar Tengah, PBB Mengutuk Keras
Lebih lanjut, Guterres mengungkap bahwa gudang, kendaraan, dan aset kemanusiaan lainnya telah diserang, dijarah, dan disita.
"Ini benar-benar keterlaluan," kata dia.
Pertempuran antara tentara militer Sudan (SAF) dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) berlangsung sejak Sabtu 15 April 2023 di Ibu Kota Khartoum dan wilayah sekitarnya.
Baca Juga: Ahli HAM PBB Puji Langkah Malaysia Hapuskan Hukuman Mati dan Menggantinya dengan Hukuman Berikut
RSF menuduh tentara Sudan menyerang pasukannya di selatan Khartoum dengan senjata ringan dan berat, sementara militer mengklaim bahwa pasukan paramiliter menyebarkan kebohongan, dan menyebutnya sebagai kelompok pemberontak.
Sudan tidak memiliki pemerintahan yang berfungsi sejak Oktober 2021, ketika militer membubarkan pemerintahan transisi Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan mengumumkan keadaan darurat dalam suatu langkah yang oleh kekuatan politik disebut sebagai kudeta.***
Artikel Terkait
Memanas, Uni Eropa dan China Desak DK PBB Adakan Pertemuan Setelah Menteri Keamanan Israel Kunjungi Al Aqsa
Setidaknya Tewaskan 40 Orang, Sekjen PBB Kutuk Serangan Rudal Rusia di Kompleks Apartemen Ukraina
Sedikitnya 348 Warga Rohingya Tewas, PBB Desak Otoritas Selesaikan Akar Masalah Pengungsian di Myanmar
Terus Bertambah, Korban Tewas Gempa Turki Tembus 46.000, Badan PBB di Barat Laut Minta Akses ke Suriah Dibuka
Ilegal Menurut Hukum Internasional, DK PBB Kecam Rencana Israel Perluas Pembangunan Permukiman di Tepi Barat
Indonesia Calonkan Diri Sebagai Anggota Dewan HAM PBB Mendatang, Angkat Komitmen Penegakan HAM
PBB Tuding Junta Militer Myanmar Berusaha Hukum Warga Sipil dengan Hal-hal Ini, Termasuk Batasi Akses Pangan