SINAR HARAPAN - Inggris diyakini sudah memasuki jurang resesi sepanjang tahun ini. Hal tersebut diperburuk dengan data inflasi pangan terbaru di Inggris yang mencatatkan rekor tertinggi sejak tahun 2005.
Berdasarkan British Retail Consortium (BRC) dan indeks harga toko NielsenIQ, inflasi pangan mencapai 10,6 persen pada September. Angka tersebut naik dari yang sebelumnya di 9,3 persen pada Agustus, sekaligus mencetak rekor menjadi angka tertinggi sejak tahun 2005.
Untuk makanan segar, inflasi melonjak menjadi 12,1 persen, dari yang sebelumnya sebesar 10,5 persen pada Agustus. Bahkan, angka inflasi makanan segar mencatatkan rekor tertinggi sepanjang masa.
Baca Juga: Kebocoran Nord Stream Sukses Bawa Harga Gas Alam Melesat 9,6 Persen
Tidak hanya itu, harga pakan ternak, pupuk, dan minyak sayur melanjutkan kenaikan setiap bulannya sejak perang di Ukraina. Hal tersebut kemudian menyebabkan inflasi makanan segar naik selama beberapa bulan terakhir, terutama untuk produk turunan susu seperti margarin.
Sementara itu, kekeringan pada musim kemarau turut memperburuk kondisi tersebut dan mengurangi beberapa hasil panen penting.
Secara keseluruhan, inflasi tahunan harga pangan di Inggris meningkat menjadi 5,7 persen di bulan September. Ini menandakan peningkatan dari yang sebelumnya sebesar 5,1 persen pada bulan Agustus.
Baca Juga: Wings Group Soal Penarikan Mie Sedap di Hong Kong: Produksi Kami Sesuai Standar Keamanan Pangan
Inflasi nonmakanan juga mencapai 3,3 persen bulan ini. Meskipun begitu, hanya sedikit di atas tingkat rata-rata tiga bulan sebesar 3,1 persen.
Di sisi lain, pendapatan yang diperoleh oleh warga tidak mengikuti kenaikan harga yang begitu cepat ini. Jika disesuaikan dengan inflasi, gaji reguler Inggris yang diberikan telah turun sebesar 2,2 persen.
Merespons hal tersebut, pemerintah Inggris memberikan subsidi listrik untuk setiap rumah tangga Inggris Rp 6,5 juta selama musim gugur. Sementara itu, bagi 8 juta rumah tangga berpenghasilan rendah menerima bantuan biaya hidup sebesar Rp10 juta.
Baca Juga: Saham BRIS Melemah 3 Hari Beruntun, Bagaimana Prospeknya?
Namun, banyak yang merasa bahwa reaksi pemerintah terhadap krisis tersebut tidak tepat.
Pasalnya, meskipun dibantu oleh pemerintah, ttingginya biaya hidup mengharuskan warga Inggris untuk tetap menghemat uang dengan mengurangi makan di luar, belanja barang atau pakaian, hingga mematikan lampu serta perangkat elektronik lainnya.
Artikel Terkait
Produk Fesyen Kulit Dari Garut Makin Digemari, Ekspornya juga Meningkat
Blue Bird (BIRD) Gandeng KLHK, Ada Apa?
Sri Mulyani: Investasi Ekonomi Digital Capai US$4,7 Miliar
Tetap Optimis, Bank Mandiri (BMRI) Belum Naikkan Suku Bunga
Permintaan Rumah Subsidi Tinggi, Vista Land Akad Massal Rumah pada 1.535 Konsumen
Saham BRIS Melemah 3 Hari Beruntun, Bagaimana Prospeknya?
Emas Kembali Bersinar! Harga Emas Antam (ANTM) dan COMEX Kompak Melesat
Wings Group Soal Penarikan Mie Sedap di Hong Kong: Produksi Kami Sesuai Standar Keamanan Pangan
Jokowi: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tertinggi di G20
Kebocoran Nord Stream Sukses Bawa Harga Gas Alam Melesat 9,6 Persen