SINAR HARAPAN - Bank Dunia (World Bank) memperingatkan risiko resesi global pada 2023 semakin besar dengan adanya aksi bank sentral di seluruh dunia yang secara bersamaan menaikkan suku bunga untuk memerangi inflasi pada Kamis waktu setempat atau Jumat 16 September WIB.
Peringatan Bank Dunia merupakan respons dari aksi bank-bank sentral lainnya di seluruh dunia yang telah menaikkan suku bunga tahun ini dengan tingkat sinkronisitas yang belum terlihat selama lima dekade terakhir, tren tersebut diperkirakan akan berlanjut hingga tahun depan.
Menurut studi Bank Sentral, tiga ekonomi terbesar dunia yaitu Amerika Serikat, China dan Eropa telah melambat. Bahkan, pukulan moderat terhadap ekonomi global tahun depan dapat mendorongnya ke dalam resesi.
Baca Juga: Rupiah Melemah Ditekan Ekspektasi Naiknya Suku Bunga Acuan The Fed
Namun, lintasan kenaikan suku bunga yang diperkirakan saat ini dan tindakan kebijakan lainnya mungkin tidak cukup untuk membawa inflasi global kembali ke tingkat yang terlihat sebelum pandemi, catat studi tersebut.
Investor memperkirakan bank-bank sentral akan menaikkan suku bunga kebijakan moneter global hingga hampir 4,0 persen hingga 2023, meningkat 2 poin persentase dari rata-rata 2021, menurut penelitian tersebut.
Penelitian tersebut juga mencatat jika kenaikan suku bunga disertai dengan tekanan pasar keuangan, maka pertumbuhan PDB (produk domestik bruto) global akan melambat menjadi 0,5 persen pada 2023, terkontraksi 0,4 persen per kapita yang akan memenuhi definisi teknis dari resesi global.
Baca Juga: Harga Buy Back Emas Antam Logam Mulia Anjlok Rp17.000
Ayhan Kose, wakil presiden Bank Dunia untuk Pertumbuhan, Keuangan, dan Institusi yang Berkeadilan, mencatat bahwa karena kenaikan suku bunga sangat sinkron di seluruh negara, mereka bisa "saling memperparah" dalam memperketat kondisi keuangan dan mempertajam perlambatan pertumbuhan global.
"Para pembuat kebijakan di negara-negara emerging markets dan berkembang harus siap untuk mengelola potensi dampak dari pengetatan kebijakan yang sinkron secara global," kata Kose.
Serangkaian krisis keuangan di negara-negara emerging markets dan berkembang akan merugikan mereka, menurut penelitian tersebut.
Baca Juga: Kesepakatan Buruh Kereta Api AS Bawa Harga Minyak Anjlok Ke Level Terendah
"Kekhawatiran mendalam saya adalah bahwa tren ini akan bertahan, dengan konsekuensi jangka panjang yang menghancurkan orang-orang di negara-negara emerging markets dan berkembang," kata Presiden Bank Dunia David Malpass.
"Untuk mencapai tingkat inflasi yang rendah, stabilitas mata uang, dan pertumbuhan yang lebih cepat, pembuat kebijakan dapat mengalihkan fokus mereka dari mengurangi konsumsi ke meningkatkan produksi," kata Malpass.
Artikel Terkait
BPS: Neraca Perdagangan Indonesia Agustus 2022 Surplus
Saham SAMF Tembus Resistance, Bagaimana Prospeknya?
BPS: Harga Beberapa Komoditas Global Menurun
Ekonom Faisal Basri Bicara Cukai Rokok: Akselerasi Pengendalian Rokok
Jokowi Terbitkan Aturan Terkait Energi Baru Terbarukan, Cek Rinciannya!
Kesepakatan Buruh Kereta Api AS Bawa Harga Minyak Anjlok Ke Level Terendah
Saham KJEN Naik 32,76 Persen, Baca Dulu Sebelum Beli
Dapat Permintaan Batu Bara dari Eropa, ITMG Jawab Begini
Harga Buy Back Emas Antam Logam Mulia Anjlok Rp17.000
Rupiah Melemah Ditekan Ekspektasi Naiknya Suku Bunga Acuan The Fed