• Rabu, 27 September 2023

Sebulan Keruntuhan SVB di AS, Ternyata Dampaknya Tidak Besar di Indonesia

- Kamis, 6 April 2023 | 23:04 WIB
Ilustrasi Bank Kolaps. Analis dari Silicon Valley Bank (SVB) mengungkapkan, lebih dari 186 bank di Amerika Serikat (AS) terancam kebangkrutan atau kolaps. (Instagram.com #siliconvalleybank)
Ilustrasi Bank Kolaps. Analis dari Silicon Valley Bank (SVB) mengungkapkan, lebih dari 186 bank di Amerika Serikat (AS) terancam kebangkrutan atau kolaps. (Instagram.com #siliconvalleybank)

SINAR HARAPAN--Belum satu bulan setelah ambruknya beberapa bank di Amerika Serikat, para banker di dalam negeri bisa menyimpulkan bahwa dampaknya tidak terlalu besar di Indonesia. Pihak otoritas dan banker bahkan meyakini bahwa perkembangan perbankan nasional akan tetap sehat dan Tangguh selama tahun 2023 ini.

Semula dikhawatirkan dampak ambruknya Silicon Valley Bank (SVB) dan penutupan beberapa bank di AS akan berdampak besar terhadap perbankan di banyak negara, termasuk Indonesia. Kondisi di AS mengkhawatirkan dan merupakan kegagalan bank terbesar di AS sejak krisis keuangan 2008. SVB didirikan pada 1983 dengan spesialisasi pembiayaan bagi perusahaan rintisan teknologi.

Mereka menyediakan pembiayaan untuk hampir setengah dari perusahaan teknologi. Kekhawatiran tersebut bisa dipahami karena pertumbuhan ekonomi digital dan perusahaan teknologi sangat pesat di Indonesia. Namun ternyata tidak perusahaan Indonesia yang langsung memperoleh pendanaan dari bank-bank AS tersebut.

Deputi Komisioner Pengawas Bank Pemerintah dan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bambang Widjanarko mengatakan kasus kolapsnya sejumlah perbankan global, misalnya SVB, dapat menjadi pembelajaran bagi perbankan Indonesia. “Ada beberapa hal mendasar yang berkaitan dengan risiko, tata kelola, dan prinsip kehati-hatian yang akan menjadi pembelajaran bagi kita di tengah-tengah kondisi yang tidak kondusif ini,” ujar Bambang dalam diskusi virtual LPPI, Kamis.

Menurut Bambang, persoalan yang dihadapi SVB berkenaan dengan risiko reputasi, konsentrasi, pasar, dan likuiditas. Oleh karena itu, perbankan Indonesia dapat menyiapkan langkah antisipasi dengan memperhatikan keempat risiko tersebut. Untuk menghadapi risiko reputasi, perbankan dapat menyiapkan pengelolaan informasi publik yang baik. Selain untuk menjaga reputasi, pengelolaan informasi publik juga dapat menjaga sistem keuangan serta kepercayaan masyarakat terhadap perbankan.

Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin menilai bahwa kolapsnya SVB pada 10 Maret 2023 lalu tidak terlalu berdampak terhadap kondisi perbankan di Indonesia. “Direct impact dari SVB case ke Indonesia itu boleh dibilang minimal, akan tetapi kita tetap akan harus waspada apa saja yang harus kita lakukan to make sure bahwa kita tetap ada di posisi yang baik dan robust apabila ada potensi contagion impact dari Amerika atau Europe terhadap banking Indonesia dan Asia,” kata Ahmad di Jakarta, Kamis.

Untuk meminimalisir dampak dari kolapsnya bank di luar negeri, perbankan di Indonesia dapat melakukan beberapa cara.

Pertama, perlunya analisa internal terhadap risiko likuiditas untuk melengkapi pemantauan terhadap regulatory liquidity ratio atau rasio likuiditas yang sudah diatur, agar dapat mengakomodir pergerakan pasar yang lebih ekstrim.
Kedua, bank di Indonesia dapat melakukan analisa terhadap konsentrasi pembiayaan (funding) secara berkala.

Ketiga, bank bisa melakukan analisa pergerakan suku bunga yang berdampak bagi klien bank. “Lalu menganalisa dampak klien dari kenaikan suku bunga. The client's big impact performances will affect the performance of the bank,” ucap Ahmad.
Keempat, bank perlu melakukan kajian terhadap skenario risiko (risk scenario) pada stress test atau simulasi untuk menguji ketahanannya. Kelima, melakukan pengkajian rencana pemulihan atau recovery plan secara berkala, termasuk pada rencana eksekusi serta komunikasi terhadap klien.

Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Royke Tumilaar mengingatkan perbankan Indonesia untuk tetap menjaga likuiditas guna menghindari kegagalan seperti yang dialami sejumlah perbankan global. “Likuiditas adalah rajanya. Likuiditas ini berperan penting bagi suatu bank sehingga jumlah aset likuid yang cukup kita harus jaga. Ini harus menjadi pelajaran untuk kita semua,” kata Royke dalam diskusi virtual LPPI yang dipantau di Jakarta, Kamis.

Dalam situasi pasar yang rentan, lanjut Royke, hal pertama yang perlu diperhatikan oleh perbankan adalah kondisi likuiditas. Bank harus mampu mengelola likuiditas dari sisi strategi dan mitigasi risiko.

Meski demikian, otoritas dan pihajk perbankan nasional perlu mewaspadai kemungkinan terjadinya perubahan kebijakan moneter di AS dalam jangka menengah dan panjang. Diperkirakan akan terjadi koreksi atas kebijakan kenaikan sukubunga yang agresif yang dimaksudkan untuk mengendalikan inflasi. Bila kebijakan berubah, maka akan ada dampaknya terhadap inflasi dan perekonomian AS. 

Melihat kasus di AS tersebut kita di Indonesia perlu sangat berhati-hati, jangan terulang lagi krisis global pada 2008 lalu. Kita meminta Bank Indonesia (BI) bertindak hati-hati menyikapi masalah ini, terutama dalam kebijakan menaikkan sukubunga acuannya. BI juga harus memastikan likuiditas masih mencukupi di sistem keuangan di dalam negeri.

 

Halaman:

Editor: Banjar Chaeruddin

Sumber: Berbagai sumber

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Rupiah Terus Melemah Usai Pernyataan Hawkish The Fed

Rabu, 27 September 2023 | 11:04 WIB

Saham Bursa Karbon Jadi Incaran, Apa Saja?

Selasa, 26 September 2023 | 13:58 WIB
X